Kamis, 17 November 2016

Refleksi FORMAD ke-2


Pemantik diskusi : Bp. Datu Jatmiko (Dosen Filsafat Sosial)

Terdapat banyak sekali peran “agama” ketika kita memaknainya dengan sudut pandang sosial. Agama bisa berarti pengendali atau kontrol, pencipta kedamaian, hingga menjadi pemantik dari gerakan sosial. Mari kita melihat pendapat-pendapat para sosiolog dalam memaknai “agama” terlebih dahulu, Aguste Comte menganggap bahwa agama telah kehilangan sakralitasnya, hal ini ditunjukkan dengan umat beragama di dalamnya yang semakin tidak rasional dalam menghayati ajaran agama. Tegasnya, para umat beragama seringkali terjebak dalam dogmatisme agama. Sementara Durkheim memandang bahwa: sesungguhnya agama akan mengalami siklus dalam perjalanannya, suatu ketika ia akan berada diujung gading tertinggi dan suatu ketika bisa saja menjadi suatu hal yang ingin dipisahkan dari kehidupan.
Jika melihat relaita saat ini, masih relevankah jika kita mengatakan bahwa: agama merupakan kontrol sosial? masihkah bak seorang kusir dalam menentukan roda kendali? Jawabanya akan tidak mudah, sebab kita sebagai warga negara Indonesia yang juga terikat oleh hukum negara, tentu pemegang tali kebijakan tidak hanya diserahkan dalam peradilan agama saja. Karena kita berrelasi dengan negara hukum, maka kita harus menggunakan hukum negara. Namun kita juga tidak dapat memukul rata seluruh konteks sosial, terdapat konteks kepercayaan yang lebih mengagungkan hukum agama, adat-istiadat, dalam masyarakat kesukuan misalnya. Kita akan memahami bahwa mereka lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh ketua suku mereka, para pemimmpin agama mereka, daripada repot-repot mengoreksinya dengan “Hukum Negara”. Tentu banyak faktor, kurangnya akses informasi global, rendahnya pendidikan, minimnya ekonomi juga mempengaruhi pemahaman masyarakat di Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia bukanlah negara Islam, bukan pula negara yang berlandaskan agama tertentu. Telah disepakati bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi prinsip ke Tuhanan (dalam sila ke-1), bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjadikannya sebagai panglima tertinggi dan memiliki gerak yang otonom. Menjadi konsekuensi bahwa seharusnya 'Hukum Negara' lah yang mengontrol gerak sosial. Realitas saat ini menunjukkan bahwa kurangnya kepercayaan warga Indonesia terhadap hukum di negaranya sendiri, sepertihalnya semakin marak kasus percekcokan antar umat beragama, dengan menyikapi secara tidak sabar dan penuh pertimbangan telah memicu pergolakan-pergolakan sosial yang justru semakin memisahkan rasa perdamaian antara umat beragama dan bernegara.
Demokrasi adalah aparatus yang menjadikan kita mampu secara diri maupun berkelompok untuk menegaskan pendapat secara rasional, bukan malah anarki yang melunturkan penghormatan atas bagsa sendiri. Demikianlah rasa ‘Ke-Bhineka tuggal eka-an’ yang selalu kita junjung tinggi, kita sebagai warga Indonesia.

Tulungagung, 8 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar