Pemantik
diskusi : Bp. Datu Jatmiko (Dosen Filsafat Sosial)
Terdapat
banyak sekali peran “agama” ketika kita memaknainya dengan sudut pandang
sosial. Agama bisa berarti pengendali atau kontrol, pencipta kedamaian, hingga
menjadi pemantik dari gerakan sosial. Mari kita melihat pendapat-pendapat para
sosiolog dalam memaknai “agama” terlebih dahulu, Aguste Comte menganggap bahwa
agama telah kehilangan sakralitasnya, hal ini ditunjukkan dengan umat beragama
di dalamnya yang semakin tidak rasional dalam menghayati ajaran agama.
Tegasnya, para umat beragama seringkali terjebak dalam dogmatisme agama.
Sementara Durkheim memandang bahwa: sesungguhnya agama akan mengalami siklus
dalam perjalanannya, suatu ketika ia akan berada diujung gading tertinggi dan
suatu ketika bisa saja menjadi suatu hal yang ingin dipisahkan dari kehidupan.
Jika melihat
relaita saat ini, masih relevankah jika kita mengatakan bahwa: agama merupakan
kontrol sosial? masihkah bak seorang kusir dalam menentukan roda kendali?
Jawabanya akan tidak mudah, sebab kita sebagai warga negara Indonesia yang juga
terikat oleh hukum negara, tentu pemegang tali kebijakan tidak hanya diserahkan
dalam peradilan agama saja. Karena kita berrelasi dengan negara hukum, maka
kita harus menggunakan hukum negara. Namun kita juga tidak dapat memukul rata
seluruh konteks sosial, terdapat konteks kepercayaan yang lebih mengagungkan
hukum agama, adat-istiadat, dalam masyarakat kesukuan misalnya. Kita akan
memahami bahwa mereka lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh ketua suku
mereka, para pemimmpin agama mereka, daripada repot-repot mengoreksinya dengan
“Hukum Negara”. Tentu banyak faktor, kurangnya akses informasi global,
rendahnya pendidikan, minimnya ekonomi juga mempengaruhi pemahaman masyarakat
di Indonesia.
Pada dasarnya
Indonesia bukanlah negara Islam, bukan pula negara yang berlandaskan agama
tertentu. Telah disepakati bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi
prinsip ke Tuhanan (dalam sila ke-1), bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
menjadikannya sebagai panglima tertinggi dan memiliki gerak yang otonom.
Menjadi konsekuensi bahwa seharusnya 'Hukum Negara' lah yang mengontrol gerak
sosial. Realitas saat ini menunjukkan bahwa kurangnya kepercayaan warga
Indonesia terhadap hukum di negaranya sendiri, sepertihalnya semakin marak
kasus percekcokan antar umat beragama, dengan menyikapi secara tidak sabar dan
penuh pertimbangan telah memicu pergolakan-pergolakan sosial yang justru
semakin memisahkan rasa perdamaian antara umat beragama dan bernegara.
Demokrasi
adalah aparatus yang menjadikan kita mampu secara diri maupun berkelompok untuk
menegaskan pendapat secara rasional, bukan malah anarki yang melunturkan
penghormatan atas bagsa sendiri. Demikianlah rasa ‘Ke-Bhineka tuggal eka-an’
yang selalu kita junjung tinggi, kita sebagai warga Indonesia.
Tulungagung,
8 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar