FORMADINA,
nama yang begitu asing didengar, bahkan belum tentu terlintas dalam benak
pikiran sebagian besar Mahasiswa
Ushuluddin. Dalam sejarahnya, di tahun 2002 kegelisahan teman-teman Mahasiswa
Ushuluddin untuk menciptakan forum komunikasi mahasiswa Ushuluddin di perguruan
tinggi Islam baru dimulai, tonggak pemersatu pun mulai terbentuk. Tercetuslah
nama Forum Mahasiswa Ushuluddin Se-Indonesia (FORMADINA).
Gerakan
yang akhir-akhir ini terlihat, RAKORWIL (Rapat Koordinasi Wilayah) yang
dipelopori daerah D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. DEMA FUAD IAIN Tulungagung
ikut dalam perhelatan yang diadakan di
UIN Walisongo Semarang tanggal 29 November - 01 Desember 2016 tersebut. Imam
Safi’i dan Gedong Maulana Kabir menjadi perwakilan dari DEMA FUAD IAIN
Tulungagung. Ini langkah yang dilakukan DEMA FUAD IAIN Tulungagung untuk
mempererat silahturahmi yang sebelumnya terputus. Selain mahasiswa IAIN
Tulungagung, terlihat juga mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, IAIN Salatiga, IAIN Surakarta, IAIN Purwokerto, IAIN Palu,
UIN Ar-Raniry Aceh, STAI Khozinatul Ulum Blora dan UIN Walisongo Semarang
sebagai tuan rumah. Semuanya menjadi saksi atas terselenggaranya RAKORWIL Jawa
Tengah dan D.I Yogyakarta. Tidak ketinggalan, kehadiran Mayjen TNI Jawandi (PANGDAM
IV/DIPONEGORO), Dr. Phil. Sahiron Syamsudin (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta), Dr. KH. Fadlolan Musyafa’ (Syuriah PW NU Jawa Tengah, Lc. MA,
Purwadi yang mewakili Irjen Pol. Condro Kirono, MM.M.Hum (Kapolda Jateng)
karena tidak bisa hadir, Dr. Fahrudin Faiz, M.Ag (Akademisi UIN Suka), Dr. Zainul
Advar, M.Ag (Akademisi UIN Walisongo) turut menambah semangat untuk memperoleh
ilmu dari masing-masing tokoh-tokoh ahli dibidangnya . Kedatangan tokoh-tokoh
ini karena keinginan untuk
berdiskusi mengenai radikalisme
yang semakin merebak di Indonesia.
Rangkaian
acara menemukan momentumnya, mulai dari pembukaan, seminar nasional, strategi
formadina di wilayah Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta, kunjungan ke tempat
peribadatan di kota Semarang, penutup. Upaya Pendekatan Kearifal Lokal dalam Menangkal
Ideologi Transnasional Guna Memperkokoh NKRI. Tema ini dirasa tepat mengingat
Kearifan lokal mulai luntur tergerus oleh ideologi Transnasional. Pendapat dari
Fadlolan Musyafa’ ada empat hal yang mengancam dan berdampak besar di Indonesia
diantaranya ancaman dari dalam dan luar, Narkoba, Radikalisme dan Korupsi. Keselarasan dari keempat inilah yang sulit
untuk dibendung. Radikalisme menjadi salah satu ancaman yang perlu meminimalisir
pergerakannya atau bahkan perlu ditegaskan dengan melakukan pembatasan. Solusi
yang paling fundamen, menyadari fungsi dan Sosial harus disamakan. Setidaknya
solusi itu mampu meminimalisir dampak yang lebih besar.
Membicarakan
radikalisme tentu harus berselancar dan menyelami sejarah radikalisme.
Radikalisme mulai merebak di dunia berawal dari
sejarah agama Nasrani di Amerika Serikat. Sedangkan radikalisme sekarang ini kebanyakan
dilabelkan pada Islam. Dalam Penuturan Purwadi, Semua agama di dunia punya sisi
radikalisme, bukan hanya Islam saja. Sedangkan di Indonesia dalam sejarahnya, Meledaknya radikalisme dimulai dari tekanan
dan reformasi di tahun 1998 yang menandakan setiap kebebasan Individu tentang
keyakinan dan keberagamaan. Reformasi terjadi karena pemerintah dirasa tidak
mampu memberikan stabilitas negara saat
itu. Goncangan inilah yang memudahkan radikalisme mulai bertengger dalam alam
bawah sadar masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih bangga dengan Transnasional
daripada budaya dan karakter bangsanya, padahal punya dasar yang lebih
substansi.
Pancasila
menjadi pilar utama ideologi masyarakat Indonesia. Dalam Pemaparan Bapak Syahiron,
Piagam jakarta merupakan representasi
dari piagam Madinah. Indonesia secara tidak langsung ikut dalam
pergulatan dalam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang dipakai Islam
tetapi belum tentu negara itu Islam. Persamaan inilah yang dijadikan tolak ukur
Syahiron untuk mengaitkan piagam madinah dengan Piagam Jakarta. Bercampurnya
pemahaman antara sistem pemerintahan dan negara inilah yang biasanya dipahami
salah oleh sebagian masyarakat. Berhubung negara Indonesia mayoritas Islam
tentu sistem yang dipakai harus dirombak dan berhaluan Islam sebagai sebagai
sesuatu yang benar, pendapat inilah yang keliru.
Setidaknya
ada 2 garis besar percabangan dalam radikalisme. Pertama, Ekstrim kanan yang mengarah pada radikalisme/agama. Kedua, Ekstrim kiri yang mengarah pada
ideologi. Ada yang melatarbelakangi cara berpikir masyarakat dalam beragama.
Menurut Fahrudin Faiz, setidaknya ada
impor yang menyelinap dalam pikiran masyarakat. Membanggakan Transnasional
menjadi konsekuensi yang dihadapi masyarakat Indonesia. Fahrudin Faiz
menjelaskan menggunakan pemikiran Al Jabiri mengenai cara berpikir umat Islam.
Kebanggaan atas masa lalu berimplikasi buruk dalam kemajuan Islam saat ini.
Pintu ijtihad tertutup menjadikan umat Islam semakin terkurung dan stagnan
menjadi konsumen terus menerus. Akidah menjadi barometer segala sesuatu. Kembali pada Nas Al-Qur’an,
penafsiran Al- Qur’an yang sesuai dengan teks dan mengesampingkan konteks
menjadikan umat Islam kembali dalam sistem kabilah yang fanatik. Problema ini yang sulit dihadapi,
perpecahan karena sikap fanatik, merasa strata sosial sektenya lebih tinggi dan
benar dalam keadaan apapun. Hal ini yang
tidak menguntungkan NKRI sebagai pemersatu. Seandainya unsur SARA
bersanding dengan sentimen yang digaungkan, pemecah belah umat menjadi semakin
terbuka lebar. Sistem pengetahuan yang didasarkan pada orang yang berkata.
Seorang ulama selalu didengarkan penganutnya dibanding seseorang yang baru
dikenal atau orang yang dibenci, entah dalam kadar apapun. Penyebab inilah yang
membuat seseorang hanya mampu menjadi konsumen tanpa ada proses memproduksi
pengetahuan.
Radikalisme
yang terjadi belakangan ini, membuat paradigma baru dalam sejarahnya. Ada
fenomena kaum ekstrim yang bisa dikaji dalam perspektif filsafat. Menurut
pemaparan Zainul Advar, Radikalisme merebak menjadi dua yaitu: menyasar gaya
Hidup dan merebak menjadi Nalar yang mengakar kuat. Sekarang ini perkembangan
teknologi masa kini mengalirkan suatu tatanan atau pola pikir. Manusia berada
dalam dimensi yang sama. Tentu ideologi yang dipakai banyak sekali perbedaan.
Semuanya bertahan atas dasar berada dan ingin eksis. Kegiatan Aksi Bela
Islam tanggal 04 november 2016 misalnya,
Orang-orang berduyun-duyun datang bisa jadi karena keinginan mengabadikan foto
atau malah menjadikan aksi itu sebagai eagle
yang cocok sebagai tampilan layar, bukan sepenuhnya atas dalam bela Islam.
Menariknya dalam foto yang ditampilkan,
pakaian yang dipakai dalam aksi bela Islam ada yang menggunakan kaos oblong
dengan celana compang-camping. Tidak tahu yang dilakukan itu atas dasar bela
Islam atau dasar ikut-ikutan karena gaya. Kegiatan seperti itu digunakan sebagai
simbol yang dipakai untuk mengusai. Karena radikalisme menampilkan sebuah
bentuk di mana ideologi dan agama menjadi pilar perkembangan radikalisme.
masyarakat biasa dituntut untuk bertubrukan dengan pola pemikiran seperti itu
tanpa disadari. Ujung-ujungnya masyarakat hanya mampu sampai dalam taraf
Konsumsi.
Gaya
hidup yang dilakukan secara terus menerus menjadikan sesuatu itu lumrah. Inilah
yang nantinya menggerus pikiran masyarakat. Nalar pun terbentuk dan semakin
menguat. Tidak disadari radikalisme
menjadi hantu yang tidak ditakuti karena perkembangan teknologi. Budaya milik sendiri
malah menjadi sesuatu yang kuno dan tidak diminati. Kecenderungan akan budaya
luarlah yang lebih dikedepankan. Ketidaksadaran merupakan kenyataan dalam diri
kita. Sudah sepantasnya budaya lokal yang beranekaragam itu dijadikan peluang
penangkal ideologi tansnasional, bukan malah diabaikan. Hal terburuk yang dapat
terjadi hanya ada klaim budaya yang diakuisi bangsa lain. Jelaslah Indonesia
punya perjuangan yang begitu panjang dengan sejarahnya, budaya itulah ciri khas
dan pelungan menangkal radikalisme. Memahami potensi kearifan lokal yang begitu
beragam dengan payung slogan persatuan Bhinneka Tunggal Ika. Luasnya hamparan
kearifan yang beragam semakin menunjukkan
di mana letak persatuan karena perbedaan itu indah.
0 komentar:
Posting Komentar