Jumat, 03 Februari 2017

DEMA FUAD IAIN Tulungagung Mengikuti RAKORWIL FORMADINA Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta


FORMADINA, nama yang begitu asing didengar, bahkan belum tentu terlintas dalam benak pikiran  sebagian besar Mahasiswa Ushuluddin. Dalam sejarahnya, di tahun 2002 kegelisahan teman-teman Mahasiswa Ushuluddin untuk menciptakan forum komunikasi mahasiswa Ushuluddin di perguruan tinggi Islam baru dimulai, tonggak pemersatu pun mulai terbentuk. Tercetuslah nama Forum Mahasiswa Ushuluddin Se-Indonesia (FORMADINA).
Gerakan yang akhir-akhir ini terlihat, RAKORWIL (Rapat Koordinasi Wilayah) yang dipelopori daerah D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah. DEMA FUAD IAIN Tulungagung ikut dalam perhelatan yang diadakan  di UIN Walisongo Semarang tanggal 29 November - 01 Desember 2016 tersebut. Imam Safi’i dan Gedong Maulana Kabir menjadi perwakilan dari DEMA FUAD IAIN Tulungagung. Ini langkah yang dilakukan DEMA FUAD IAIN Tulungagung untuk mempererat silahturahmi yang sebelumnya terputus. Selain mahasiswa IAIN Tulungagung, terlihat juga mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Salatiga, IAIN Surakarta, IAIN Purwokerto, IAIN Palu, UIN Ar-Raniry Aceh, STAI Khozinatul Ulum Blora dan UIN Walisongo Semarang sebagai tuan rumah. Semuanya menjadi saksi atas terselenggaranya RAKORWIL Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta. Tidak ketinggalan,  kehadiran Mayjen TNI Jawandi (PANGDAM IV/DIPONEGORO), Dr. Phil. Sahiron Syamsudin (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Dr. KH. Fadlolan Musyafa’ (Syuriah PW NU Jawa Tengah, Lc. MA, Purwadi yang mewakili Irjen Pol. Condro Kirono, MM.M.Hum (Kapolda Jateng) karena tidak bisa hadir, Dr. Fahrudin Faiz, M.Ag (Akademisi UIN Suka), Dr. Zainul Advar, M.Ag (Akademisi UIN Walisongo) turut menambah semangat untuk memperoleh ilmu dari masing-masing tokoh-tokoh ahli dibidangnya . Kedatangan tokoh-tokoh ini karena keinginan untuk  berdiskusi  mengenai radikalisme yang semakin merebak di Indonesia.
Rangkaian acara menemukan momentumnya, mulai dari pembukaan, seminar nasional, strategi formadina di wilayah Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta, kunjungan ke tempat peribadatan di kota Semarang, penutup. Upaya Pendekatan Kearifal Lokal dalam Menangkal Ideologi Transnasional Guna Memperkokoh NKRI. Tema ini dirasa tepat mengingat Kearifan lokal mulai luntur tergerus oleh ideologi Transnasional. Pendapat dari Fadlolan Musyafa’ ada empat hal yang mengancam dan berdampak besar di Indonesia diantaranya ancaman dari dalam dan luar, Narkoba, Radikalisme dan Korupsi.  Keselarasan dari keempat inilah yang sulit untuk dibendung. Radikalisme menjadi salah satu ancaman yang perlu meminimalisir pergerakannya atau bahkan perlu ditegaskan dengan melakukan pembatasan. Solusi yang paling fundamen, menyadari fungsi dan Sosial harus disamakan. Setidaknya solusi itu mampu meminimalisir dampak yang lebih besar.
Membicarakan radikalisme tentu harus berselancar dan menyelami sejarah radikalisme. Radikalisme mulai merebak di dunia berawal dari  sejarah agama Nasrani di Amerika Serikat.  Sedangkan radikalisme sekarang ini kebanyakan dilabelkan pada Islam. Dalam Penuturan Purwadi, Semua agama di dunia punya sisi radikalisme, bukan hanya Islam saja. Sedangkan di Indonesia dalam sejarahnya,  Meledaknya radikalisme dimulai dari tekanan dan reformasi di tahun 1998 yang menandakan setiap kebebasan Individu tentang keyakinan dan keberagamaan. Reformasi terjadi karena pemerintah dirasa tidak mampu memberikan  stabilitas negara saat itu. Goncangan inilah yang memudahkan radikalisme mulai bertengger dalam alam bawah sadar masyarakat Indonesia. Masyarakat lebih bangga dengan Transnasional daripada budaya dan karakter bangsanya, padahal punya dasar yang lebih substansi.  
Pancasila menjadi pilar utama ideologi masyarakat Indonesia. Dalam Pemaparan Bapak Syahiron, Piagam jakarta merupakan representasi  dari piagam Madinah. Indonesia secara tidak langsung ikut dalam pergulatan dalam sistem pemerintahan. Sistem pemerintahan yang dipakai Islam tetapi belum tentu negara itu Islam. Persamaan inilah yang dijadikan tolak ukur Syahiron untuk mengaitkan piagam madinah dengan Piagam Jakarta. Bercampurnya pemahaman antara sistem pemerintahan dan negara inilah yang biasanya dipahami salah oleh sebagian masyarakat. Berhubung negara Indonesia mayoritas Islam tentu sistem yang dipakai harus dirombak dan berhaluan Islam sebagai sebagai sesuatu yang benar, pendapat inilah yang keliru.
Setidaknya ada 2 garis besar percabangan dalam radikalisme. Pertama, Ekstrim kanan yang mengarah pada radikalisme/agama. Kedua, Ekstrim kiri yang mengarah pada ideologi. Ada yang melatarbelakangi cara berpikir masyarakat dalam beragama. Menurut  Fahrudin Faiz, setidaknya ada impor yang menyelinap dalam pikiran masyarakat. Membanggakan Transnasional menjadi konsekuensi yang dihadapi masyarakat Indonesia. Fahrudin Faiz menjelaskan menggunakan pemikiran Al Jabiri mengenai cara berpikir umat Islam. Kebanggaan atas masa lalu berimplikasi buruk dalam kemajuan Islam saat ini. Pintu ijtihad tertutup menjadikan umat Islam semakin terkurung dan stagnan menjadi konsumen terus menerus. Akidah menjadi barometer  segala sesuatu. Kembali pada Nas Al-Qur’an, penafsiran Al- Qur’an yang sesuai dengan teks dan mengesampingkan konteks menjadikan umat Islam kembali dalam sistem kabilah yang  fanatik. Problema ini yang sulit dihadapi, perpecahan karena sikap fanatik, merasa strata sosial sektenya lebih tinggi dan benar dalam keadaan apapun. Hal ini yang  tidak menguntungkan NKRI sebagai pemersatu. Seandainya unsur SARA bersanding dengan sentimen yang digaungkan, pemecah belah umat menjadi semakin terbuka lebar. Sistem pengetahuan yang didasarkan pada orang yang berkata. Seorang ulama selalu didengarkan penganutnya dibanding seseorang yang baru dikenal atau orang yang dibenci, entah dalam kadar apapun. Penyebab inilah yang membuat seseorang hanya mampu menjadi konsumen tanpa ada proses memproduksi pengetahuan.
Radikalisme yang terjadi belakangan ini, membuat paradigma baru dalam sejarahnya. Ada fenomena kaum ekstrim yang bisa dikaji dalam perspektif filsafat. Menurut pemaparan Zainul Advar, Radikalisme merebak menjadi dua yaitu: menyasar gaya Hidup dan merebak menjadi Nalar yang mengakar kuat. Sekarang ini perkembangan teknologi masa kini mengalirkan suatu tatanan atau pola pikir. Manusia berada dalam dimensi yang sama. Tentu ideologi yang dipakai banyak sekali perbedaan. Semuanya bertahan atas dasar berada dan ingin eksis. Kegiatan Aksi Bela Islam  tanggal 04 november 2016 misalnya, Orang-orang berduyun-duyun datang bisa jadi karena keinginan mengabadikan foto atau malah menjadikan aksi itu sebagai eagle yang cocok sebagai tampilan layar, bukan sepenuhnya atas dalam bela Islam. Menariknya  dalam foto yang ditampilkan, pakaian yang dipakai dalam aksi bela Islam ada yang menggunakan kaos oblong dengan celana compang-camping. Tidak tahu yang dilakukan itu atas dasar bela Islam atau dasar ikut-ikutan karena gaya. Kegiatan seperti itu digunakan sebagai simbol yang dipakai untuk mengusai. Karena radikalisme menampilkan sebuah bentuk di mana ideologi dan agama menjadi pilar perkembangan radikalisme. masyarakat biasa dituntut untuk bertubrukan dengan pola pemikiran seperti itu tanpa disadari. Ujung-ujungnya masyarakat hanya mampu sampai dalam taraf Konsumsi.
Gaya hidup yang dilakukan secara terus menerus menjadikan sesuatu itu lumrah. Inilah yang nantinya menggerus pikiran masyarakat. Nalar pun terbentuk dan semakin menguat.  Tidak disadari radikalisme menjadi hantu yang tidak ditakuti karena perkembangan teknologi. Budaya milik sendiri malah menjadi sesuatu yang kuno dan tidak diminati. Kecenderungan akan budaya luarlah yang lebih dikedepankan. Ketidaksadaran merupakan kenyataan dalam diri kita. Sudah sepantasnya budaya lokal yang beranekaragam itu dijadikan peluang penangkal ideologi tansnasional, bukan malah diabaikan. Hal terburuk yang dapat terjadi hanya ada klaim budaya yang diakuisi bangsa lain. Jelaslah Indonesia punya perjuangan yang begitu panjang dengan sejarahnya, budaya itulah ciri khas dan pelungan menangkal radikalisme. Memahami potensi kearifan lokal yang begitu beragam dengan payung slogan persatuan Bhinneka Tunggal Ika. Luasnya hamparan kearifan yang beragam semakin menunjukkan  di mana letak persatuan karena perbedaan itu indah.

0 komentar:

Posting Komentar