Sabtu, 18 Maret 2017

BULETIN AL-IRFAN DEMA FUAD IAIN TULUNGAGUNG EDISI DESEMBER 2017





SALAM REDAKSI

Assalamu’alaikum Wr Wb
Salam JamFud
Alhamdulillahirabbil’alamin, segalapuji hanya kepada Allah yang  telah memberikan kekuatan kepada kami untuk terus berkarya dan berkreasi. Semoga perjuangan kecil ini mendapat ridho-Mu serta menjadi salah satu perantara yang menjadikan kami menuju rahmat dan ampunan-MU.
Edisi kedua dalam pengurusan baru telah terbit. Terbitnya edisi kedua bulletin Al-Irvan menjadi jawaban atas rasa lelah yang dirasakan selama beberapa lama yang berubah menjadi kepuasan yang mendalam bagi kami. Akhirnya, kerja keras kami dapat terwujud melalui terbitnya bulletin ini. Rasa bangga dalam diri kami selaku mahasiswa fakultas ushuluddin adab dan dakwah menjadi berlipat ganda. Walaupun di akhir semester, akhirnya kami berhasil menerbitkan sebuah bulletin yang sesuai dengan keinginan dan harapan kami.
Buletin  yang  ditangan pembaca merupakan karya mahasiswa  FUAD . Buletin  Al-Irfan ini merupakan refleksi dari diskusi-diskusi yang  berlangsung  pada forum mahasiswa FUAD serta hasil karya seluruh keluarga besar FUAD. Urgensi MUI dan dampaknya bagi keberaagamaan di Indonesia menjadi makanan manis untuk membuka ulasan formad pertama. MUI merupakan lembaga dan himpunan ulama yang mengatur kebijakan umat yang beberapa tahun ini memberikan fatwa yang  krusial seperti hanya fatwa sesat bagi muslim syiah. Penentuan lebel haram dan halal pada produk-produk tertentu yang disinyalir memiliki unsur  politis. Agama sebagai kontrol sosial ialah tema kedua dalam diskusi selasa jam ketiga. Agama dominan senantiasa memberikan intervensi terhadap Negara. Padahal negera memiliki wewenang untuk mengatur hukum sendiri dan agama di dalamnya. Kisruh yang terjadi dalam pemilihan gubernur ibukota Negara menjadi gambaran bagai mana agama sangat kental mempengaruh kondisi sosial masyarakat.
Kebijakan-kebijakan dolald trump yang sangat fenomenal pada masa kampenya menjadi bayangan bayangan yang syarat terhadap pelanggaran HAM. Terpilihnya dia sebagai president amerika menambah kekawatiran terhadap umat muslim, karena merasa terganggu kebebasannya seiring wacana yang disampaikan. Ulasan wacana dari trump menambah warna perdiskusian ketiga forum mahasiswa FUAD yang bertempat di depan aula utama. Diskusi forum mahasiswa FUAD dengan tema  mengenai relevansi hukum mati di Indonesia memperkaya kajian mahasiswa FUAD diminggu ketiga bulan November. Peserta diskusi penuh pro dan kontra memaknai hukuman mati dalam diskusi itu. Tiadanya hukum mati tidak memberikan efek jera terhadap narapidana yang terjerat kasus-kasus hukuman mati. Namun, hukuman mati di dunia juga mencoreng HAM perihal kebebasan hidup.
Buletin ini menjadi bentuk sarana  dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa di kampus IAIN Tulungagung tercinta. Melalui pembuatan bulletin ini, kami berharap dapat mengambil peranan dalam upaya meningkatkan minat baca yang dimiliki mahasiswa. Terimakasih kami ucapkan untuk semua pihak terkait. Kami sadari bulletin ini jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami harapkan, untuk membenahi kekurangan dan kesalahan baik dari sisi penulisan ataupun unsur lain dalam bulletin demi pengembangan bulletin ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Redaktur Buletin AL-IRFAN DEMA FUAD IAIN Tulungagung 2016. Pelindung : Dekan FUAD, Penanggung Jawab : Ketua Umum DEMA FUAD, Pelaksana : Dewan Redaksi AL-IRFAN, Pimpinan Redaksi : M. Syaiful, Editor : Seli Muna Ardiani, Layouter : M. Fauzi Ridwan, Tim Redaksi : Lidya.




Sambutan oleh Ketua DEMA-FUAD
Imam Safi’i (Mahasiswa FA 5)
Salam JAMFUD bagi kita semua!!!
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah memiliki sejarah yang menarik untuk tetap kita kenang dan perjuangkan. Salah satunya kegiatan Diskusi, roh keilmuan terus mengalir melalui sarana ini. Gagasan-gagasan dalam berpendapat mengenai isu-isu terhangat dan problem-problem setiap diluapkan dalam diskusi. Sejarah di IAIN Tulungagung membuktikan bahwa FUAD masih tetap eksis melakukan diskusi hingga saat ini. Kegiatan inilah yang memicu mahasiswa FUAD untuk saling bercengkrama mengenal teman antar jurusan di Lingkungan FUAD sembari mengasah kemampuan menyampaikan pendapat.
Sebagain besar mahasiswa mungkin merasa aneh melihat fenomena ini, bahkan ada yang berpikir untuk apa diskusi di DPR (di bawah Pohon Rindang)? Ya...memang tak dapat dipungkiri, diskusi ini selalu  dihelat di bawah pohon rindang depan kantor FUAD. Seiring bertambahnya jumlah mahasiswa, area itu menjadi tempat parkir akhir-akhir ini. Kondisi yang demikian membuat tidak adanya tempat yang pasti dalam berdiskusi. Mungkin inilah keindahan Tuhan dalam membuat gejala baru, berpindah tempat pun bukan masalah yang berarti.
Diskusi yang dilakukan setiap hari selasa pukul 10.20 WIB yang dimotori oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (DEMA FUAD) IAIN Tulungagung. FORMAD merupakan nama terbaru yang dicetuskan oleh teman-teman mahasiswa FUAD untuk menandai sebuah forum diskusi di lingkungan mahasiswa FUAD. Sebelum FORMAD, nama diskusi yang akrab dikenal Mahasiswa adalah FOKUS (Forum Kajian Ushuluddin). Latar belakang penggantian nama muncul akibat kegelisan,  karena FOKUS  dianggap belum merepresentasikan Adab dan Dakwah dalam lingkaran diskusi FUAD.
Hal yang menarik ialah tidak ada sesuatu yang bisa disimpulkan dari berbagai diskusi yang diadakan, yang ada hanya individu masing-masing yang mampu mengambil benang merah dari setiap perdiskusian. Prinsip diskusi FORMAD lebih pada menambah wacana baru yang hangat sebagai suatu perspektif dalam memandang fenomena yang terjadi. Di akhir diskusi, motivasi terucap dari mahasiswa, lalu ditutup dengan salam JAMFUD untuk kekeluargaan sesama lembaga di FUAD.




Refleksi FORMAD November (Ke-1)
“Urgensi MUI dan Dampaknya bagi Keberagamaan di Indonesia”


Pemantik diskusi : Tsalis Mustofa (mahasiswa Tasawuf Psikoterapi sem.5 )
Moderator : Seli Muna Ardiani
Penanggung jawab diskusi : DEMA-FUAD (oleh: Devisi Intelektual-Literasi)
Kelahiran MUI harus dipahami betul berada dalam kondisi gejolak politik Orde Baru, lengkap dengan ketegangan antara umat Islam dan Pemerintah kala itu. Kehadirannya sebagai bentuk “jembatan” penyampai aspirasi rakyat dan aspirasi pemerintah terhadap rakyat. Padamulanya MUI dirancang sebagai ruang konsultatif, dan sama sekali tidak operasional. Dalam anggaran dasar MUI sudah ditetapkan bahwa lembaga yang operasional tetaplah ormas-ormas seperti Muhamadiyyah, Nu, dll; namun dalam perkembangannya semakin berbeda – ujar Djohan Efendi, ketua umum Indonesian Conference of Religion for Piece (ICRP).
Dalam beberapa hal, putusan fatwa yang dibuat oleh MUI sepertihalnya: pengharaman pembudidayaan kodok, pengkategorian agama “resmi” dan “tidak resmi” ,pembuatan draf 10 kategori aliran “sesat”, pelabelan sesat pada Ahmadiyah, Syi’ah, begitu meresahkan. MUI menjelma layaknya polisi aqidah yang siap mencekal dan membredel segala hal yang dianggapnya sesat dan keluar dari koridor “Islam” dalam bentuk fatwa-fatwanya. Lalu dimana fungsi awal MUI sebagai wisdom atau Kebijaksanaan? Apa yang akan terjadi jika  MUI campurtangan dalam permaslahan yang begitu kontroversial dan privat? Lalu bagaimanakah dampak bagi umat beragama non-Islam? Bukankah gejolak sosial akan bermunculan?
Salam jaringan mahasiswa FUAD....JAMFUD!!!!!!




Refleksi FORMAD November (ke-2) 
Agama sebagai Kontrol Sosial di Indonesia?
Pemantik diskusi : Bpk. Datu Jatmiko (Dosen Filsafat Sosial)
Moderator : Seli Muna Ardiani
Penanggung jawab diskusi : DEMA-FUAD (oleh: Devisi Intelektual-Literasi)
Terdapat banyak sekali peran “agama” ketika kita memaknainya dengan sudut pandang sosial. Agama bisa berarti pengendali atau kontrol, pencipta kedamaian, hingga menjadi pemantik dari gerakan sosial. Mari kita melihat pendapat-pendapat para sosiolog dalam memaknai “agama” terlebih dahulu, Aguste Comte menganggap bahwa agama telah kehilangan sakralitasnya, hal ini ditunjukkan dengan umat beragama di dalamnya yang semakin tidak rasional dalam menghayati ajaran agama. Tegasnya, para umat beragama seringkali terjebak dalam dogmatisme agama. Sementara Durkheim memandang bahwa: sesungguhnya agama akan mengalami siklus dalam perjalanannya, suatu ketika ia akan berada diujung gading tertinggi dan suatu ketika bisa saja menjadi suatu hal yang ingin dipisahkan dari kehidupan.
Jika melihat relaita saat ini, masih relevankah jika kita mengatakan bahwa agama merupakan kontrol sosial? Masihkah agama menentukan roda kendali? Jawabanya akan tidak mudah, sebab kita sebagai warga negara Indonesia yang juga terikat oleh hukum negara, tentu pemegang tali kebijakan tidak hanya diserahkan dalam peradilan agama saja. Karena kita berrelasi dengan negara hukum, maka kita harus menggunakan hukum negara. Namun kita juga tidak dapat memukul rata seluruh konteks sosial di Indonesia, terdapat konteks kepercayaan yang lebih mengagungkan hukum agama, adat-istiadat, dalam masyarakat kesukuan misalnya. Kita akan memahami bahwa mereka lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh ketua suku mereka, para pemimmpin agama mereka, daripada repot-repot mengoreksinya dengan “Hukum Negara”. Tentu banyak faktor yang menyebabkan kerabunan masyarakat terhadap hukum negara, yakni kurangnya akses informasi global, rendahnya pendidikan, minimnya ekonomi turut mempengaruhi pemahaman masyarakat di Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia bukanlah negara Islam, bukan pula negara yang berlandaskan agama tertentu. Telah disepakati bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi prinsip ke Tuhanan (dalam sila ke-1), bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjadikannya sebagai panglima tertinggi dan memiliki gerak yang otonom. Menjadi konsekuensi bahwa seharusnya 'Hukum Negara' lah yang mengontrol gerak sosial. Realitas saat ini menunjukkan bahwa kurangnya kepercayaan warga Indonesia terhadap hukum di negaranya sendiri, sepertihalnya semakin marak kasus percekcokan antar umat beragama, dengan menyikapi secara tidak sabar dan penuh pertimbangan telah memicu pergolakan-pergolakan sosial yang justru semakin memisahkan rasa perdamaian antara umat beragama dan bernegara. Padahal jika benar-benar dihayati, sesungguhnya tidak ada prinsip kemanusiaan yang menjadikan pertentanagan anatara hukum agama dengan hukum agama.
Demokrasi adalah aparatus yang menjadikan kita mampu secara diri maupun berkelompok untuk menegaskan pendapat secara rasional, bukan malah anarki yang melunturkan penghormatan atas bagsa sendiri. Demikianlah rasa ‘Ke-Bhineka tuggal eka-an’ yang selalu kita junjung tinggi. Kita sebagai warga Indonesia.




Reflesi FORMAD November (ke-3) 
Bendera Wacana
Sebuah refleksi atas kemenangan Donald Trump
Pemantik diskusi : Atiqah dan Faruk (mahasiswa TP sem.3 dan 1)
Penanggung jawab diskusi : HMJ-TP
Dunia digemparkan oleh sebuah fenomena yang tidak terduga sebelumnya, seperti seseorang yang baru mendengar suara halilintar menggelegar terkaget-kaget begitulah ekspresinya. Sebenarnya hal yang mengguncangkan itu bukan di karenakan oleh gempa bumi atau badai topan melainkan, terpilihnya Donald Trump menjadi presiden AS. Padahal dari kebanyakan lembaga survei yang ada di Amerika banyak yang memperhitungkan bahwa Clinton lah yang akan menang. Alhasil perhitungan itu meleset sangat jauh. Kemenangan Donald Trump tentunya menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat Amerika dan umumnya masyarakat dunia.
Kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton membawa dampak dan kekhàwatiran terutama, warga muslim yang ada di Amerika. Kekhawatiran yang terjadi khususnya warga muslim yaitu seputar pernyataan Trump tentang kebijakan melarang orang Islam masuk ke AS. Menurut datà pemerintahan AS bahwa jumlah muallaf di AS mencapai 34.000 orang, sungguh jumlah yang fantastis, dan tanpa di pungkiri bahwa walikota London Shadiq Khan adalah seorang muslim. Dari kebijakan Trump ini untuk menangkal gerakan terorisme yang terus meneror AS, terutama yang di lakukan oleh orang Islam.
Kebijakan Trump yang lain adalah ingin membangun tembok raksasa di perbatasan meksiko guna membentengi dari masuknya para imigran, terutamanya dari Suriah, disisi lain juga istri Trump juga bukan warga AS, tetapi warga Slovenia. Wacana yang di sampaikan Donald Trump dari mulai kampanye sampai mengantarkan kemenanganya di karenakan akan membawa angin segar bagi kehidupan warga AS dan memang, keinginan warga AS yang memang hidup bebas dan di bawah payung keamanan. Walaupun memang kebijakan yang di wacanakan Trump sudah real sekali bahwa hal itu mendiskriminasi dan mendiskreditkan salah satu golongan padahal dalam pidato kemenanganya Trump mengatakan "saya akan menjadi presiden bagi seluruh warga AS, dan hal itu menjadi penting bagi saya".
Berkaca dari apa yang akan di wacanakan Trump kedepanya tentunya, kita sebagai mahasiswa juga bagian dari dunia harusnya tidak berpangku tangan dan abai. Bagaimana cara menyikapi hal itu dan bagaimana pula tindakan konkret yang akan kita buat? Sebelum terlambat dan sebelum bendera-bendera wacana berkibar mahasiswa harus berperan aktif dalam mengawal peradaban di tengah badai tantangan zaman yang menuntut setiap individu untuk kreatif dan tahan banting. Kita lihat saja apakah wacana Donald Trump benar-benar terwujud?, atau malah masih teka-teki belaka, atau hanya sekedar ketakutan terhadap Islam dan hanya sekedar kendaraan politik. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa harus lebih kritis dalam menilai segala aspek kehidupan yang mengandung pelajaran. Sebagai mahasiswa Islam kita akan di ajari dan belajar kepada sebuah fenomena yang akan membawaa siapa saja kedalam arus fikiran dan pergerakan. Dari Amerika di era Trump ini kita akan banyak belajar, kita lihat saja nanti.
Ingat bahwa kita sebagai mahasiswa jangan mudah di pecah belah oleh pihak-pihak yang hanya bermodalkan syurga tanpa mengedepankan rasio kemanusiaan. Donald Trump hanya salah satu orang yang akan mewacanakan perubahan yang mana harus di curigai atau malah menjadi spirit persatuan. Salam JAMFUD!!!




Refleksi FORMAD November (ke-4)
Relevansi Hukuman Mati bagi Pelaku Kejahatan

Penaggungjawab       : HMJ-IAT
Pemantik diskusi        : Anwar (IAT sem1), Tajuddin Romli (IAT sem3), Setiamin (IAT sem5)
Moderator                   : Mutmainnatun Nafiah (IAT sem3)
Seperti yang telah kita ketahui bahwasanya di beberapa Negara, salah satunya yaitu Indonesia yang memiliki salah satu kebijakan yaitu vonis hukuman mati bagi pelaku kejahatan tingkat berat. Khususnya Indonesia, pada beberapa tahun belakangan ini telah menghukum mati sebanyak 11 orang pecandu narkotika. Selain itu, salah satu kasus yang masih melekat erat di pikiran kita adalah kasus pengeboman beberapa tempat di Bali yang diduga menjadi tempat maksiat juga pengeboman Hotel Rich Carlton di Jakarta beberapa tahun silam. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah itu tidak sama dengan pembunuhan yang dielegalkan? Apakah dengan menjatuhi hukuman mati pada seseorang lantas bisa menyelesaikan masalah atau justru lebih banyak lagi masalah yang muncul? Lalu, bagaimana pandangan dari segi agama, HAM dan psikologi? Mari Berdiskusi…!!!
Jika ditinjau dari segi agama, khususnya agama islam yang merupakan mayoritas berada di negara kita, maka terlebih dahulu merujuk pada kitab suci yakni al-Quran. Dalam beberapa kitab tafsir telah dijelaskan bahwa adanya kebolehan untuk melakukan qishash. Qishash yang bertujuan untuk membalas memang sudah ada sejak islam belum datang yang telah tertulis dalam kitab Taurat. Dalam hal pembunuhan, seorang penguasa diperbolehkan membunuh budaknya, seorang muslim diperbolehkan membunuh orang kafir. Tetapi, jika dikonstekkan dengan masa sekarang, apakah masih ada penguasa atau raja yang bertindak demikian? Sedangkan Hak Asasi Manusia telah dijunjung tinggi, yaitu hak untuk hidup.
Dalam menilai keputusan ini, tidak bisa hanya melihat dari satu pandangan. Karena dirasa perlu memandang dari sisi HAM. Salah satu hak-hak asasi manusia terdapat hak untuk hidup yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Berbeda halnya dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang layak misalnya, itu masih ada kemungkinan untuk tidak terpenuhi. Indonesia dalam UUD 45 memaparkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Tetapi, dalam UU dijelaskan juga tentang hukuman mati bagi pelaku kejahatan tingkat berat. Mahkamah Konstitusi sebagai pembuat undang-undang menyatakan bahwa adanya hukuman mati untuk memberikan pengayoman bagi masyarakat yang lain. Di sini terdapat putusan yang saling tumpang tindih. Selanjutnya, bagaimana Negara sebagai pemegang wewenang tertinggi menjalankan hukuman mati ini?
Sedangkan, ditinjau dari sisi psikologi perihal kasus hukuman mati, pastinya membawa dampak yang begitu besar bagi pelaku sekaligus keluarganya. Ketika seseorang telah diputuskan dihukumi mati baginya, pasti pelaku akan merasa drop (mentalnya turun), merasa dikucilkan dan sudah tidak ada gunanya lagi untuk hidup. Karena hanya tinggal menunggu waktu kapan sang malaikat Izrail yang menjelma menjadi algojo akan mencabut nyawanya. Bisa jadi, ketika ada selang waktu antara penjatuhan hukuman vonis dan pengeksekusian dilakukan, si pelaku justru melakukan tindakan yang lebih brutal lagi. Selain bagi pelaku, vonis hukuman mati juga menimbulkan tekanan batin bagi keluarga terpidana. Orangtua terpidana akan merasa bahwa Negara atau siapapun tidak berhak untuk mengambil nyawa anaknya. Apakah penegak hukum ingin berlagak sebagai Tuhan yang dengan mudah mengambil nyawa seseorang?
Memang dalam menanggapi masalah ini selalu saja ada pihak yang pro dengan keputusan Negara, tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Dari pihak yang setuju dengan hal ini memiliki beberapa argument yang menguatkan putusan tersebut. Pertama, dalam al-Quran telah diperbolehkan untuk melakukan qishash, meskipun tidak semua imam. Kedua, bahwa tidak ada  hukuman lain yang lebih pantas diberikan selain hukuman mati. Ketiga, dengan dijatuhi hukuman mati, maka si pelaku tidak akan mungkin melakukan kejahatan yang sama.
Pernyataan-pernyataan tidak sepenuhnya bisa diterima. Beberapa argument tentang penolakan keputusan ini juga beragam. Pertama, ketika seseorang telah dijatuhi hukuman mati, maka tidak akan nada lagi kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dirinya tidaklah bersalah. Dan jika suatu saat dia dinyatakan tidak bersalah, pihak berwajib hanya bisa mngucapkan maaf tanpa bisa mengembalikan terpidana tersebut. Kedua, masih ada cara lain jika yang diinginkan adalah agar tidak melakukannya lagi, yaitu dengan terapi. Ketiga, manusia itu bukan Tuhan yang bisa seenaknya mengambil nyawa seseorang.
Begitu banyak argument yang dilontarkan dalam menanggapi hukuman mati tersebut. Lalu, bagaimana sikap kita yang mana kekuasaan untuk memberikan penghakiman pada saat ini bukan di tangan kita? Kita dituntut untuk selalu bersikap skeptis terhadap keputusan apapun, agar kita tidak berhenti untuk berfikir dan belajar. Jika memang keputusan tersebut kurang atau tidak sesuai, maka kita bisa menyuarakannya. Salam JAMFUD…!!!
Tulungagung 22 November 2016


PUISI
2 DESEMBER
Oleh: Ahan
Aku hendak bicara
tapi pada siapa?
Sedang dunia saja
enggan disapa.
Seluruhnya berbondong. 
Berteriak serak, maju serbu
ditengahnya serdadu.
Di genggamnya kapak dan batu.
Menuntut pada siapa?
Sedang hukum dan ideologi
saja sudah tak lagi berharga.
Terselip di kantong saku
para penguasa.
Kepada siapa mau bersabda?
Demi seutas panji yang difatwa.
Mengakunya umat beragama.
Tidaklah berlaga seperti
kurcaci tua.



  Alqur'an Sebagai Dasar Renaisans Islam
Oleh: Thoriq (TP 1)

Menarik untuk disimak, judul diatas adalah salah satu judul sebuah artikel dalam buku "Islam Madzhab Tengah: Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher". Buku dengan tebal 528 halaman itu terdiri dari beberapa buah artikel karya tiga puluh dua orang.  Beberapa cendekiawan muslim 'beken', disitu ada nama Kh. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Kh. Mustafa Bisr (Gus Mus), Kh. Sahal Mahdudh, Alwi Shihab, Mun'im Sirry, Prof. Said Aqil Siraj, Zuhairi Misrawi, dll.
Buku ini hadir merefleksikan betapa besar khazanah pemikiran dan gerakan Islam yang terus mengalami perkembangan. Pemikiran pada zaman ini, merupakan perwujudan tongkat estafet dari pemikir-pemikir Islam di masa lalu. Model pemikiran era modern sekarang ini merujuk pada pemikiran yang moderat (madzhab tengah). Dan mengapa dipilih menjadi pemikiran yang moderat? Hal ini di latar belakangi dengan maraknya pemikiran ekstrem dan liberal. Oleh karena itu, buku ini hadir sebagai bekal umat muslim agar menjadi " ummatan wasathan".
Dalam buku terbitan Grafindo Khazanah Ilmu tahun 2007, tepatnya pada halaman 125  terdapat artikel dengan judul diatas tersebut. Artikel tersebut di tulis oleh Dewan pendiri dan penyantun Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mantan Mentri Negara Lingkungan Hidup yaitu Bapak Emil Salim. Seingat penulis, beliau adalah penggagas Program Kali Bersih atau biasa disingkat dengan Prokasih, sewaktu beliau menjadi Mentri Negeri Lingkungan Hidup.
Dalam artikel tersebut, beliau menulis artikel dengan judul "Alqur'an Sebagai Dasar Renaisans Islam" . penulisan artikel tersebut lahir karena kegelisahan beliau terkait keberadaan komunitas umat Islam sekarang ini. Mayoritas komunitas Muslim masih terpenjara oleh fenomena kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan berbagai konflik antar sesama. Padahal Allah SWT sudah berfirman dalam Qs. Al-Mujadilah :11 ;"...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Islam adalah agama yang sempurna dan tinggi. Hal itu tersurat dalam ungkapan "al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaihi" (Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menyamainya). Lantas mengapa realita sekarang komunitas Muslim mengalami banyak ketertinggalan? Ini sangat berbeda dengan komunitas Muslim pada abad ke tujuh dan juga umat Islam pada abad pertengahan, dimana pada abad tersebut Islam telah mencapai masa keemasanya (the golden age). Dari realitas tersebut, pasti ada yang salah dari komunitas Muslim era sekarang. Lalu bagaimana cara komunitas Muslim sekarang mengembalikan kejayaan masa lalu??
Sebelum menjawab beberapa pertanyaan tersebut, beliau menganalisis faktor kemajuan yang dicapai oleh komunitas Muslim pada masa lalu. Sejarah mengatakan bahwa umat Islam pada abad ke tujuh dan juga pada abad-abad pertengahan yang mengalami masa puncak kejayaannya itu karena tidak terlepas dari Alqur'an dan hadith. Umat Islam pada masa lalu menjadi pemimpin dunia, baik di bidang politik, maupun di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan pada zaman sekarang masih tercium harum nama-nama ilmuan Muslim sebut saja misalnya, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dll. Komunitas umat Muslim pada masa lalu begitu sepektakuler yang tercatat mengalahkan  peradaban imperium besar pada waktu itu, Persia dan Romawi. Lalu kenapa umat Islam sekrang tertinggal jauh dari peradaban dunia sekarang ini? Oleh karena itu perlu di adakanya renaisans dalam Islam.
Konsep Renaisans dalam Islam berbeda dengan Konsep Renaisans Barat tempo dulu. Reaisans Barat pada masa lalu, yang terjadi di Perancis pada abad ke-14 adalah gugatan atas supremasi Gereja Katolik Roma dan tumbuhnya paham Individualisme. Renaisans di Barat di baca dari matinya feodalisme bangkitnya individualisme dan penentangan terhadap supremasi Gereja Katolik Roma. Berbeda dengan Islam, Konsep Renaisans Islam tidak ada pertentangan dengan persatuan agama dan negara seperti yang di capai oleh umat Islam masa lalu. Kesimpulanya, jika umat Islam sekarang ingin meraih kesuksesan masa lalu harus kembali pada ajaran dasar Islam itu sendiri yaitu Alqur'an dan hadith.
Hal yang membedakan kemajuan komunitas Islam sekarang dengan Komunitas Muslim masa lalu adalah 'pembacaan' terhadap teks keagamaan tersebut, yakni Alqur'an dan hadith. Umat Islam masa lalu dapat mencapai ilmu pengetahuan tertinggi pada masanya di karenakan pembacaanya. Sebenarnya umat Islam dahulu maupun sekarang sudah mengetahui bagaimana untuk menjadi komunitas yang tinggi dan maju dalam peradaban dunia, yaitu dengan membaca. Seperti menurut jumhur ulama' ayat pertama yang turun adalah Qs. al-'alaq, disitu ada kata Iqra' yang artinya membaca, dengan membaca inilah umat Islam akan mencapai peradaban yang tinggi. Tetapi perlu diingat, "membaca" dalam ayat tersebut menurut M. Quraish Shihab memiliki banyak penafsiran yaitu menghimpun, seperti membaca teks, membaca realitas, mebaca situasi, dll. dan inilah yang membedakan komunitas Muslim dahulu  sekarang pengkajian beliau, ada dua alur pemikiran yang mengantarkan umat Islam ke posisi puncak pada saat itu, yaitu pendalaman ilmu syariat dan ilmu filsafat dan alam. Pendalaman ilmu syariat melahirkan empat madzhab terkenal, yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Selain mendalami ilmu syariat juga mendalami ilmu hikmah atau ilmu filsafat yamg menekankan pada ilmu alam. Inilah yang mengantarkan ke prestasi puncak umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan kedokteran. Kemajuan umat Islam waktu itu di dasari pada pembacaan terhadap Alqur'an dan hadith yang kemudian dengan disertai tindak lanjut dari penelaahan terhadap Alqur'an dan hadith tersebut melalui penelitian-penelitian. Tidak hanya itu, penerjemahan besar-besaran buku-buku dari Romawi dan Yunani pada masa Khalifah al-Makmun yang ikut memainkan peranan penting umat Islam saat itu.
Kelemahan umat Islam saat ini, menurut beliau adalah pada lemahnya pengkajian terhadap Alqur'an. Alqur'an oleh Umat Islam sekarang hanya di jadikan bahan bacaan saja tidak ada tindak lanjut dari pembacaan tersebut. Alqur'an adalah kitab yang memuat segala sumber ilmu pengetahuan. Tetapi yang perlu di ketahui bukanya Alqur'an dengan rinci menjabarkan teori-tori ilmu pengetahuan, akan tetapi yang di maksud dengan "semua" disini adalah tanda-tanda atau indikasi adanya teori ilmu pengetahuan tersebut. Jadi, disini umat Islam harus menggunakan akal pikiranya untuk mengetahui hal konkrit apa yang di maksudkan Alqur'an tersebut. Sebagai contoh mereka mengkaji ilmu alam, mereka mengkaji ayat-ayat Alqur'an yang membicarakan alam, langit, dan lain sebagainya. Sementara, saat ini, kita sering banyak membaca ayat, tetapi tidak mengkajinya.
Selanjutnya kelemahan dari umat Islam sekarang, menurut beliau adalah  terlalu mementingkan ilmu syariat dan meninggalkan ilmu filsafat. Hal ini yang menyebabkan mereka mulai berhenti untuk bertanya. Hal ini di perparah lagi tidak di bolehkanya bertanya pada ayat-ayat Alqur'an karena menurut mereka sudah di rumuskan oleh ulama-ulama masa lalu terutama dalam pembacaan ilmu syariat (fiqih). Umat Islam sekarang tidak mau bertanya dan hanya mengikuti apa yang dirumuskan ulama terdahulu, dan disinilah umat Islam mengalami kejumudan berpikir dan yang mengakibatkan kemunduran umat Islam.
Menurut beliau, jika umat Islam ingin bangkit dan mengejar kemajuan ada beberapa hal yang harus dilakukan : pertama, mencari kelemahan diri kita. Jangan mencari kambing hitam dan jangan menimpakan kesalahan pada pihak lain. Sebab dengan logika itu, kita akan menghindari intropeksi. Intropeksi diri sangat perlu dilakukan, dengan mengetahui kelemahan diri sendiri maka kita dapat berbenah untuk menjadi lebih baik.
Kedua, belajar dari sejarah. Kemajuan agama pada masa lalu, di pelopori oleh ulama yang gemar membaca, menulis, dan berfikir. Jadi akal di kembangkan serentak dengan pengembangan kalbu. Ada keseimbangan antara akal dan kalbu.
Ketiga, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan solidaritas antar umat. Hal ini penting untuk dilakukan, karena kalau kita mau menyadari bahwa umat Islam sekarang ini "terkotak-kotak" yang terpecah pada golongan-golongan dan parahnya lagi umat Islam saling mengklaim pada golonganya saja yang paling benar dan menganggap sesat golongan lain akibatnya terjadi perpecahan antar umat.
Setelah memaparkan beberapa pemikiranya kemudian artikel tersebut di tutup dengan ajakan beliau untuk menjadi umat Islam yang inklusif, umat yang terbuka terhadap perubahan zaman. Beliau mencitrakan seorang khalifah al-Makmun yang mempelopori penerjemahan buku-buku filsafat dari Romawi, Yunani kuno, dll. Yang intinya ilmu itu datang dari mana saja, janganlah kita memandang asal ilmu tersebut. Melainkan adalah sikap kita (umat Islam) dalam menerjemahkan ilmu ke dalam perbuatan. Bagi umat Islam pengejawantahan harus di bimbing  moral yang di sinari oleh cahaya iman.
Meskipun demikian, sumber ilmu  pengetahuan bisa berasal dari mana saja, bukankah Rasul pernah bersabda tuntutlah ilmu walau harus ke negri China. Jadi tidak perlu risau dan anti-pati terhadap Barat atau anti Timur dalam menuntut ilmu. Insya Allah dengan  kekuatan ilmu dan  mengedepankan moral umat Islam akan kembali bangkit dan menjadi khalifah di bumi.

 


(Masih) DI BAWAH BENDERA YANG SAMA
Oleh: Rizka Hidayatul Umami (Tacin)

Mereka sedang bersama-sama menengadahkan wajah ke langit. Di bawah sinar redup rembulan. Di sebuah atap gedung tua, dengan bercak hitam di segala sisi. Di bawahnya ada ruang minim oksigen yang menjadi tempat utama pertemuan mereka. Hanya ruang sempit berdiameter 2x3. Ada tikar gulung, sapu lantai, satu gitar, galon kosong, dan jajan yang mereka bawa dari kos atau kontrakan.
Sementara waktu menunjukkan pukul 20:35. Mereka masih menengadah ke langit. Hanya bertiga dan merenung sendiri-sendiri. Masing-masing tidak saling mengerti. Tidak saling menahu, dan mencoba memahami. Hanya mengenal nama, dan tempat tanggal lahir. Dengan profesi yang sama, yakni mahasiswa abadi.
Lima bulan terakhir mereka dekat. Tapi masih bersekat. Hanya ingat bahwa ingus tidak lagi membuat malu. Sekedar ingat usia yang telah menginjak sepuh. Ah tidak, hanya saja mereka sudah masuk lebih jauh dari tahun ke dua puluh. Tidak banyak hal yang mereka ingat dari cerita masing-masing di awal pertemuan. Hanya lempengan cerita tidak begitu penting. Seperti keseringan tidur di kolong meja ruang kelas, atau ikut demo masalah kenaikan gaji PNS, demo penegakan HAM, atau aksi-aksi sebagaimana aktivis lainnya.
Tiga, sampai lima putung rokok telah terlempar ke lantai ubin yang dingin. Bungkus jajan seharga 500 perak dengan banyak variasi, telah ludes mereka habiskan lewat satu jam yang lalu. Dan sudah lebih dari 3 jam menunggu. Yaa, menunggu salah satu dari mereka bertiga memulai perbincangan kecut itu.
Bukan sekedar basa-basi. Mereka sering seperti ini. Berada pada keadaan yang mencerca diri. Diam seakan menjadi perisai untuk tidak saling membenamkan pada putusan yang salah. Namun justru seringnya, diam yang membuat mereka makin kalut dengan keadaan yang sejatinya bersalah.
“aku atau kalian yang mulai?” Tanya Rukma satu-satunya perempuan diantara mereka bertiga.
“apa lagi yang mau kau mulai? Kita sudah selesai sekarang.” Tegas eL.
Keadaan kembali hening dan semakin hening dengan bunyi cicak yang rakus. Cicak menjadi gemuk di pertengahan bulan November. Musim hujan membawa segerombol nyamuk masuk ke dalam ruang kerja mereka. Banyak cicak yang kemudian mampir untuk mencari santapan. Atau kadang menertawakan tingkah munafik ketiga orang di dalam ruangan tersebut.
Satu persatu dari mereka kemudian pergi. Masuk ke dalam ruang sempit dan buru-buru keluar karena tersengal-sengal. Kehilangan napas. Dering telfon milik Eksa berbunyi sangat keras. Volume maksimal sengaja disetel agar tidak ada panggilan yang terlewat.
“iyaa, kami usahakan, kami siap!!” jawab Eksa mantap.
Tidak lama berselang. Eksa menyusul kedua teman barunya naik ke atas atap gedung tua dengan membawa gitar, yang lagi-lagi terbilang tua.
Masih dengan posisi yang sama. Kegiatan yang sama. Menghisap rokok dan menengadahkan wajah ke langit. Di tambah tiga cangkir jumbo berisi kopi arang. Kopi dari tumbukan kacang hijau dengan tambahan bau arang. Teman sejati dalam berbagai kondisi. 2500 rupiah untuk secangkir kopi dengan berjam-jam nongrong full wifi. Tanpa takut diusir atau disuruh pergi karena warkop langganan buka sampai pagi.
Warkop langganan mereka buka hari senin sampai minggu kecuali malam jum’at. Dari pukul 17;00 sampai 06;00 tanpa jeda. Menyediakan part time untuk mahasiswa-mahasiswa yang kekurangan uang jajan atau yang berjuang membayar tunggakan kos dan kontrakan. Pemiliknya sendiri adalah mahasiswa jurusan akutansi yang juga abadi seabadi mereka bertiga. Sekali waktu si pemilik ikut nimbrung bersama mereka. Untuk mencuci otak katanya. Membersihkan otak dari racun-racun yang ditebar oleh para pemilik kepentingan, lewat media sosial, atau surat kabar milik kelompok mayoritas.

Tapi kali ini mereka hanya membeli untuk dibawa ke gedung tua. Tiga cangkir jumbo mereka pinjam dari pemilik warkop tanpa imbalan atau uang tambahan. Seruput demi seruput mereka layangkan kecangkir masing-masing. Bibir yang hitam dan mata yang cekung, khas dari mereka yang tidak akan tertolak.
“jika tidak ada yang memulai. Aku akan memulai. Jadi… kita belum selesai.” ucap Eksa dengan mimiknya yang datar.
“jadi? Maksutnya?” Tanya eL.
“aku yakin kita memang tidak akan selesai seperti ini.” Sahut Rukma meyakinkan keduanya.
Sembari saling memandang, kemudian mereka tertawa.
“yess…. Akhirnya.” Ketiganya saling menepuk bahu, bersahutan meluapkan kegembiraan.

Seruput terakhir dari cangkir eL. Keheningan yang tercipta sedari senja, lenyap. Bunyi jangkrik tak lagi mendominasi suasana malam. Bulan telah tertutup awan dan mendung berbuku-buku mengundang gerimis tipis. Malam yang nyaris pekat oleh gelap. Suasana kembali mencair.
“dasar manusia-manusia berkepribadian ganda.” Sergah eL.
“iya, dan tidak hanya aku, tapi juga kalian semua. Bukankah kita sama saja?” tekas Eksa membela diri.
“iya sama. Individualis dan tidak mau mengalah. Coba kita lebih egois dari ini. Kabar dari Eksa pasti kita abaikan begitu saja. Kita memilih enyah, dan berakhir dengan kata selesai. Iya kan?” Rukma menyulutkan lagi kegeramannya. Memandang eL yang memulai isu pembubaran mereka.
Empat hari sebelum pertemuan terakhir, tertanggal 10 November 2016, nama mereka hangus dari dapur rekaman. Pihak panitia bagian penjurian kalang kabut. Beberapa peserta sudah lebih dulu gagal audisi. Mereka didiskualifikasi karena dianggap plagiasi. Tidak ada yang dinyatakan menang oleh juri. Hanya info ralat dan permohonan maaf, semacam konferensi pers pada media yang turut meliput tanpa gaji.
Sehari kemudian studio rekaman milik salah satu sponsor kegiatan terbakar. Tiga rumah di sebelah kanan dan kiri turut jadi korban. Banyak pihak yang menduga-duga, berbisik dengan sesamanya. Mengira band yang gagal menanglah pelakunya. Alhasil nama “Gado-gado” tercoreng. Dipastikan bubar karena tidak akan ada manggung bareng atau sekedar check sound. Sementara penyelidikan oleh polisi memakan waktu seminggu.
Tapi Tuhan Yang Maha Kasih menulis skenario yang berbeda. Sehari sebelum malam pertemuan mereka, polisi menyatakan mereka tidak bersangkutan, sama sekali. Yaa, alias tidak bersalah. Pihak panitia kemudian bersujud-sujud kepada mereka bertiga.
“kami mohon maaf kepada mbak dan mas. Ternyata ada kongkalikong antara beberapa panitia dengan pihak luar. Sehingga hasil penjurian dipalsukan, dan mas juga mbak jadi tertuduh. Sekali lagi kami mohon maaf karena telah mencoreng nama grup band mas-mas dan mbak.” Pinta salah satu perwakilan panitia penyelenggara lomba.
“kira-kira apa alasan mereka melakukan ini semua pak? Ini tidak akan masuk akal. Karena kemenangan kami juga tanpa uang.” Tegas eL
“apa karena kita aktivis? dan lagi masalah kebakaran yang menimpa studio musik salah satu sponsor. Itu konyol jika hanya karena kemenangan kami.” Tambah Rukma dengan nada menegaskan.
“Ini masalah kepentingan satu pihak mbak. Dan kalian adalah semacam umpan. Yaa, umpan yang baik karena status kalian dan daftar nama kalian di beberapa demonstrasi. Polisi menjelaskan kepada kami duduk perkaranya. Pada dasarnya manusia memang tidak ingin kalah dengan yang lain. Saling sikut dan menjatuhkan, itulah yang terjadi.”
“lalu korban kebakaran itu?”
“dua orang dinyatakan meninggal karena luka bakar parah mencapai 85%. 10 orang termasuk 3 balita masih menjalani perawatan mas.”
“kenapa sampai setega itu? Apa ada unsur lain? Semacam dendam? Ini bukan kita yang celaka pak, tapi orang lain. Yang tidak tau apa-apa. Kenapa seperti ini?”
“saya… saya tidak menahu tentang itu. Saya juga merasa berdosa disini mbak. Saya hanya memikirkan keselamatan saya sendiri saat di TKP. Saya tidak bisa menolong siapapun.” Jawab bapak paruh baya itu dengan terisak.

Mereka kemudian menengadahkan wajah kisut itu ke hamparan langit. Pukul 18;20 eL meminta pamit kepada kedua rekan barunya. Hidupnya dirasa kacau setelah kejadian hari itu. Dimana borgol sempat membeku di kedua pergelangan tangannya. Sakit hati, kecewa, dan rasa bersalah menggembung. Merasa tidak lagi berguna bertahan dalam lingkaran itu. Hal yang sama dirasa oleh Eksa. Lantunan gitarnya hanya berbunyi satu nada, tanpa irama.
“aku selesai. Ini semua omong kosong. Demo-demo kita omong kosong. Gila semua. Konyol.” eL berdiri dan berteriak kepada keduanya.
Sementara kegeraman nampak pada wajah gadis 21 tahun yang menjadi maskot grup mereka. Rukma sangat marah tapi menahan diri. Ia menyadari pikiran mereka bertiga kacau. Pertemuan yang diharapkan seperti cambuk berduri. Tidak akan ada setitik cahaya yang mampu menembus lapisan debu tanpa inci. Perasaan mereka malam itu.
Tapi Eksa menepiskan kegeraman Rukma dan keputusan sepihak eL sebagaimana fungsi pendingin ruangan terbuka kala itu. Angin meniupkan hawa segar dan anyir dari gerimis yang jatuh ke tanah.
Sebuah telefon yang semula dianggap tidak penting oleh Rukma dan eL, nyatanya membawa rona mereka kembali. Sebuah panggilan dari seorang dosen sepuh. Terkenal dengan sundanism dan lawakan gurih. Dosen kesayangan mahasiswa semester tua di fakultas filsafat. Mereka memanggilnya Abah.
Isi perbincangan Eksa dengan Abah mengundang tanya. Ada rasa penasaran dan keingintahuan di atas rata-rata. Abah meminta “Gado-gado” untuk manggung di pra-acara peringatan hari toleransi sedunia. Bukan main puji-pujian yang mereka lontarkan kepada Tuhan.
“jangan takut, kita sama dimata Tuhan, di mata hukum, kita berpijak di bumi yang sama, dan kalian tidak bersalah. Eh, jadi ingat. jangan lupa ya, khusus untuk saya, nyanyikan lagu The Scorpions Under The Same Sun.” pinta dosen humoris itu.

Rabu, 16 November 2016, masih pagi. Jam dinding di gedung tua yang baru saja mereka pasang masih menunjukkan pukul 07;05. Mereka telah bersiap dengan gitar dan badan masing-masing. Sarapan dengan sebungkus roti dan air mineral berukuran tanggung untuk bertiga. Dan seperti biasa, mereka menuju ke atas atap gedung tua sebagai ceremonial singkat sebelum tampil untuk menghibur. Tiang bendera dengan tinggi 3 meter sengaja mereka pasang, dua bulan yang lalu. Mereka memberi hormat. Kepada bendera kebangsaan yang mereka junjung tinggi.
“ternyata kami masih hidup sampai saat ini. Kami bebas dan merdeka. Kami sadar bahwa kami masih berada di bawah bendera yang sama. Kemarin adalah kebodohan. Untuk apa kami bercerai berai, mengunggulkan ego untuk kepentingan pribadi? Padahal dengan bersama, kami jauh lebih sakti. Hai Bumi Pertiwi, kami siap mengabdi dengan cara kami.” Teriak Rukma dengan simpul di bibirnya, sembari menyunggingkan senyum pada eL.







0 komentar:

Posting Komentar