Assalamu’alaikum Wr Wb
Salam JamFud
Alhamdulillahirabbil’alamin, segalapuji hanya kepada Allah
yang telah memberikan kekuatan kepada
kami untuk terus berkarya dan berkreasi. Semoga perjuangan kecil ini mendapat
ridho-Mu serta menjadi salah satu perantara yang menjadikan kami menuju rahmat
dan ampunan-MU.
Edisi kedua dalam pengurusan baru telah terbit. Terbitnya edisi kedua bulletin Al-Irvan menjadi jawaban atas rasa lelah yang dirasakan selama
beberapa lama yang berubah menjadi kepuasan yang mendalam bagi kami. Akhirnya,
kerja keras kami dapat terwujud melalui terbitnya bulletin ini. Rasa bangga
dalam diri kami selaku mahasiswa fakultas ushuluddin adab dan dakwah menjadi
berlipat ganda. Walaupun di akhir semester, akhirnya kami berhasil menerbitkan
sebuah bulletin yang sesuai dengan keinginan dan harapan kami.
Buletin yang ditangan pembaca merupakan karya
mahasiswa FUAD . Buletin Al-Irfan ini merupakan refleksi dari
diskusi-diskusi yang berlangsung pada forum mahasiswa FUAD serta hasil karya
seluruh keluarga besar FUAD. Urgensi MUI dan dampaknya bagi keberaagamaan di
Indonesia menjadi makanan manis untuk membuka ulasan formad pertama. MUI
merupakan lembaga dan himpunan ulama yang mengatur kebijakan umat yang beberapa
tahun ini memberikan fatwa yang krusial
seperti hanya fatwa sesat bagi muslim syiah. Penentuan lebel haram dan halal
pada produk-produk tertentu yang disinyalir memiliki unsur politis. Agama sebagai kontrol sosial ialah
tema kedua dalam diskusi selasa jam ketiga. Agama dominan senantiasa memberikan
intervensi terhadap Negara. Padahal negera memiliki wewenang untuk mengatur
hukum sendiri dan agama di dalamnya. Kisruh yang terjadi dalam pemilihan
gubernur ibukota Negara menjadi gambaran bagai mana agama sangat kental
mempengaruh kondisi sosial masyarakat.
Kebijakan-kebijakan dolald trump yang sangat fenomenal pada masa
kampenya menjadi bayangan bayangan yang syarat terhadap pelanggaran HAM.
Terpilihnya dia sebagai president amerika menambah kekawatiran terhadap umat
muslim, karena merasa terganggu kebebasannya seiring wacana yang disampaikan.
Ulasan wacana dari trump menambah warna perdiskusian ketiga forum mahasiswa
FUAD yang bertempat di depan aula utama. Diskusi forum mahasiswa FUAD dengan
tema mengenai relevansi hukum mati di
Indonesia memperkaya kajian mahasiswa FUAD diminggu ketiga bulan November.
Peserta diskusi penuh pro dan kontra memaknai hukuman mati dalam diskusi itu.
Tiadanya hukum mati tidak memberikan efek jera terhadap narapidana yang
terjerat kasus-kasus hukuman mati. Namun, hukuman mati di dunia juga mencoreng
HAM perihal kebebasan hidup.
Buletin ini menjadi bentuk sarana
dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan mahasiswa di kampus IAIN
Tulungagung tercinta. Melalui pembuatan bulletin ini, kami berharap dapat
mengambil peranan dalam upaya meningkatkan minat baca yang dimiliki mahasiswa.
Terimakasih kami ucapkan untuk semua pihak terkait. Kami sadari bulletin ini
jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat
konstruktif sangat kami harapkan, untuk membenahi kekurangan dan kesalahan baik
dari sisi penulisan ataupun unsur lain dalam bulletin demi pengembangan
bulletin ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Redaktur
Buletin AL-IRFAN DEMA FUAD IAIN Tulungagung 2016. Pelindung : Dekan FUAD, Penanggung Jawab : Ketua Umum
DEMA FUAD, Pelaksana : Dewan Redaksi
AL-IRFAN, Pimpinan Redaksi : M.
Syaiful, Editor : Seli Muna Ardiani,
Layouter : M. Fauzi Ridwan, Tim Redaksi : Lidya.
Sambutan oleh Ketua DEMA-FUAD
Imam Safi’i (Mahasiswa FA 5)
Salam JAMFUD bagi kita semua!!!
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah memiliki sejarah yang
menarik untuk tetap kita kenang dan perjuangkan. Salah satunya kegiatan Diskusi, roh
keilmuan terus mengalir melalui sarana ini. Gagasan-gagasan dalam berpendapat
mengenai isu-isu terhangat dan problem-problem setiap diluapkan dalam diskusi. Sejarah di IAIN
Tulungagung membuktikan bahwa FUAD masih tetap eksis melakukan diskusi hingga
saat ini. Kegiatan inilah yang memicu mahasiswa FUAD untuk saling bercengkrama
mengenal teman antar jurusan di Lingkungan FUAD sembari mengasah kemampuan
menyampaikan pendapat.
Sebagain besar
mahasiswa mungkin merasa aneh melihat fenomena ini, bahkan ada yang berpikir untuk
apa diskusi di DPR (di bawah Pohon Rindang)? Ya...memang tak dapat dipungkiri, diskusi ini selalu dihelat di bawah pohon
rindang depan kantor FUAD. Seiring bertambahnya jumlah mahasiswa, area itu
menjadi tempat parkir akhir-akhir ini. Kondisi yang demikian membuat tidak adanya tempat yang pasti dalam berdiskusi. Mungkin inilah keindahan Tuhan dalam membuat gejala baru, berpindah
tempat pun bukan masalah yang berarti.
Diskusi yang dilakukan setiap hari selasa pukul 10.20 WIB yang dimotori
oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (DEMA
FUAD) IAIN Tulungagung. FORMAD merupakan nama terbaru yang dicetuskan oleh teman-teman mahasiswa
FUAD untuk menandai sebuah forum diskusi di lingkungan mahasiswa FUAD. Sebelum FORMAD, nama diskusi yang akrab dikenal Mahasiswa adalah FOKUS (Forum Kajian Ushuluddin). Latar belakang penggantian nama muncul akibat kegelisan, karena FOKUS dianggap belum
merepresentasikan Adab dan Dakwah dalam lingkaran diskusi FUAD.
Hal yang menarik ialah tidak ada sesuatu yang bisa disimpulkan dari berbagai diskusi yang diadakan, yang ada hanya individu masing-masing yang mampu mengambil benang merah dari setiap perdiskusian. Prinsip diskusi FORMAD lebih pada menambah wacana baru yang hangat sebagai suatu perspektif dalam memandang fenomena yang terjadi. Di akhir diskusi, motivasi terucap dari mahasiswa, lalu ditutup dengan salam JAMFUD untuk kekeluargaan sesama lembaga di FUAD.
Refleksi FORMAD November (Ke-1)
“Urgensi MUI dan Dampaknya bagi Keberagamaan di Indonesia”
Pemantik diskusi : Tsalis Mustofa (mahasiswa Tasawuf Psikoterapi
sem.5 )
Moderator : Seli Muna Ardiani
Penanggung jawab diskusi : DEMA-FUAD (oleh: Devisi
Intelektual-Literasi)
Kelahiran MUI harus dipahami betul berada dalam kondisi gejolak
politik Orde Baru, lengkap dengan ketegangan antara umat Islam dan Pemerintah
kala itu. Kehadirannya sebagai bentuk “jembatan” penyampai aspirasi rakyat dan
aspirasi pemerintah terhadap rakyat. Padamulanya MUI dirancang sebagai ruang
konsultatif, dan sama sekali tidak operasional. Dalam anggaran dasar MUI
sudah ditetapkan bahwa lembaga yang operasional tetaplah ormas-ormas seperti
Muhamadiyyah, Nu, dll; namun dalam perkembangannya semakin berbeda – ujar
Djohan Efendi, ketua umum Indonesian Conference of Religion for Piece (ICRP).
Dalam beberapa hal, putusan fatwa yang dibuat oleh MUI
sepertihalnya: pengharaman pembudidayaan kodok, pengkategorian agama “resmi”
dan “tidak resmi” ,pembuatan draf 10 kategori aliran “sesat”, pelabelan sesat
pada Ahmadiyah, Syi’ah, begitu meresahkan. MUI menjelma layaknya polisi aqidah
yang siap mencekal dan membredel segala hal yang dianggapnya sesat dan keluar
dari koridor “Islam” dalam bentuk fatwa-fatwanya. Lalu dimana fungsi awal MUI
sebagai wisdom atau Kebijaksanaan? Apa yang akan terjadi jika MUI campurtangan dalam permaslahan yang
begitu kontroversial dan privat? Lalu bagaimanakah dampak bagi umat beragama
non-Islam? Bukankah gejolak sosial akan bermunculan?
Salam jaringan mahasiswa FUAD....JAMFUD!!!!!!
Refleksi FORMAD November (ke-2)
Agama sebagai Kontrol Sosial di
Indonesia?
Pemantik
diskusi : Bpk. Datu Jatmiko (Dosen Filsafat
Sosial)
Moderator : Seli Muna Ardiani
Penanggung
jawab diskusi : DEMA-FUAD
(oleh: Devisi Intelektual-Literasi)
Terdapat banyak sekali peran “agama”
ketika kita memaknainya dengan sudut pandang sosial. Agama bisa berarti
pengendali atau kontrol, pencipta kedamaian, hingga menjadi pemantik dari
gerakan sosial. Mari kita melihat pendapat-pendapat para sosiolog dalam
memaknai “agama” terlebih dahulu, Aguste Comte menganggap bahwa agama telah
kehilangan sakralitasnya, hal ini ditunjukkan dengan umat beragama di dalamnya
yang semakin tidak rasional dalam menghayati ajaran agama. Tegasnya, para umat
beragama seringkali terjebak dalam dogmatisme agama. Sementara Durkheim
memandang bahwa: sesungguhnya agama akan mengalami siklus dalam perjalanannya,
suatu ketika ia akan berada diujung gading tertinggi dan suatu ketika bisa saja
menjadi suatu hal yang ingin dipisahkan dari kehidupan.
Jika melihat relaita saat ini, masih
relevankah jika kita mengatakan bahwa agama merupakan kontrol sosial? Masihkah
agama menentukan roda kendali? Jawabanya akan tidak mudah, sebab kita sebagai
warga negara Indonesia yang juga terikat oleh hukum negara, tentu pemegang tali
kebijakan tidak hanya diserahkan dalam peradilan agama saja. Karena kita
berrelasi dengan negara hukum, maka kita harus menggunakan hukum negara. Namun
kita juga tidak dapat memukul rata seluruh konteks sosial di Indonesia,
terdapat konteks kepercayaan yang lebih mengagungkan hukum agama,
adat-istiadat, dalam masyarakat kesukuan misalnya. Kita akan memahami bahwa
mereka lebih mempercayai apa yang dikatakan oleh ketua suku mereka, para
pemimmpin agama mereka, daripada repot-repot mengoreksinya dengan “Hukum
Negara”. Tentu banyak faktor yang menyebabkan kerabunan masyarakat terhadap
hukum negara, yakni kurangnya akses informasi global, rendahnya pendidikan,
minimnya ekonomi turut mempengaruhi pemahaman masyarakat di Indonesia.
Pada dasarnya Indonesia bukanlah
negara Islam, bukan pula negara yang berlandaskan agama tertentu. Telah
disepakati bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi prinsip ke
Tuhanan (dalam sila ke-1), bahwa Indonesia adalah negara hukum yang
menjadikannya sebagai panglima tertinggi dan memiliki gerak yang otonom.
Menjadi konsekuensi bahwa seharusnya 'Hukum Negara' lah yang mengontrol gerak
sosial. Realitas saat ini menunjukkan bahwa kurangnya kepercayaan warga
Indonesia terhadap hukum di negaranya sendiri, sepertihalnya semakin marak
kasus percekcokan antar umat beragama, dengan menyikapi secara tidak sabar dan
penuh pertimbangan telah memicu pergolakan-pergolakan sosial yang justru
semakin memisahkan rasa perdamaian antara umat beragama dan bernegara. Padahal
jika benar-benar dihayati, sesungguhnya tidak ada prinsip kemanusiaan yang
menjadikan pertentanagan anatara hukum agama dengan hukum agama.
Demokrasi adalah aparatus yang
menjadikan kita mampu secara diri maupun berkelompok untuk menegaskan pendapat
secara rasional, bukan malah anarki yang melunturkan penghormatan atas bagsa
sendiri. Demikianlah rasa ‘Ke-Bhineka tuggal eka-an’ yang selalu kita junjung
tinggi. Kita sebagai warga Indonesia.
Reflesi FORMAD November (ke-3)
Bendera Wacana
Sebuah refleksi atas kemenangan Donald Trump
Pemantik diskusi : Atiqah dan Faruk (mahasiswa TP sem.3 dan 1)
Penanggung jawab diskusi : HMJ-TP
Dunia digemparkan oleh sebuah fenomena yang tidak terduga
sebelumnya, seperti seseorang yang baru mendengar suara halilintar menggelegar
terkaget-kaget begitulah ekspresinya. Sebenarnya hal yang mengguncangkan itu
bukan di karenakan oleh gempa bumi atau badai topan melainkan, terpilihnya
Donald Trump menjadi presiden AS. Padahal dari kebanyakan lembaga survei yang
ada di Amerika banyak yang memperhitungkan bahwa Clinton lah yang akan menang.
Alhasil perhitungan itu meleset sangat jauh. Kemenangan Donald Trump tentunya
menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat Amerika dan umumnya masyarakat dunia.
Kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton membawa dampak dan
kekhàwatiran terutama, warga muslim yang ada di Amerika. Kekhawatiran yang
terjadi khususnya warga muslim yaitu seputar pernyataan Trump tentang kebijakan
melarang orang Islam masuk ke AS. Menurut datà pemerintahan AS bahwa jumlah
muallaf di AS mencapai 34.000 orang, sungguh jumlah yang fantastis, dan tanpa
di pungkiri bahwa walikota London Shadiq Khan adalah seorang muslim. Dari
kebijakan Trump ini untuk menangkal gerakan terorisme yang terus meneror AS,
terutama yang di lakukan oleh orang Islam.
Kebijakan Trump yang lain adalah ingin membangun tembok raksasa di
perbatasan meksiko guna membentengi dari masuknya para imigran, terutamanya
dari Suriah, disisi lain juga istri Trump juga bukan warga AS, tetapi warga
Slovenia. Wacana yang di sampaikan Donald Trump dari mulai kampanye sampai
mengantarkan kemenanganya di karenakan akan membawa angin segar bagi kehidupan
warga AS dan memang, keinginan warga AS yang memang hidup bebas dan di bawah
payung keamanan. Walaupun memang kebijakan yang di wacanakan Trump sudah real
sekali bahwa hal itu mendiskriminasi dan mendiskreditkan salah satu golongan padahal
dalam pidato kemenanganya Trump mengatakan "saya akan menjadi presiden
bagi seluruh warga AS, dan hal itu menjadi penting bagi saya".
Berkaca dari apa yang akan di wacanakan Trump kedepanya tentunya,
kita sebagai mahasiswa juga bagian dari dunia harusnya tidak berpangku tangan dan abai. Bagaimana cara menyikapi hal itu dan bagaimana pula tindakan konkret
yang akan kita buat? Sebelum terlambat dan sebelum bendera-bendera wacana berkibar
mahasiswa harus berperan aktif dalam mengawal peradaban di tengah badai
tantangan zaman yang menuntut setiap individu untuk kreatif dan tahan banting.
Kita lihat saja apakah wacana Donald Trump benar-benar terwujud?, atau malah
masih teka-teki belaka, atau hanya sekedar ketakutan terhadap Islam dan hanya
sekedar kendaraan politik. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa harus lebih
kritis dalam menilai segala aspek kehidupan yang mengandung pelajaran.
Sebagai mahasiswa Islam kita akan di ajari dan belajar kepada sebuah fenomena
yang akan membawaa siapa saja kedalam arus fikiran dan pergerakan. Dari Amerika
di era Trump ini kita akan banyak belajar, kita lihat saja nanti.
Ingat bahwa kita sebagai mahasiswa jangan mudah di pecah belah oleh
pihak-pihak yang hanya bermodalkan syurga tanpa mengedepankan rasio
kemanusiaan. Donald Trump hanya salah satu orang yang akan mewacanakan
perubahan yang mana harus di curigai atau malah menjadi spirit persatuan. Salam JAMFUD!!!
Refleksi FORMAD November (ke-4)
Relevansi
Hukuman Mati bagi Pelaku Kejahatan
Penaggungjawab : HMJ-IAT
Pemantik diskusi : Anwar (IAT sem1),
Tajuddin Romli (IAT sem3), Setiamin (IAT sem5)
Moderator : Mutmainnatun Nafiah (IAT
sem3)
Seperti yang
telah kita ketahui bahwasanya di beberapa Negara, salah satunya yaitu Indonesia
yang memiliki salah satu kebijakan yaitu vonis hukuman mati bagi pelaku
kejahatan tingkat berat. Khususnya Indonesia, pada beberapa tahun belakangan
ini telah menghukum mati sebanyak 11 orang pecandu narkotika. Selain itu, salah
satu kasus yang masih melekat erat di pikiran kita adalah kasus pengeboman
beberapa tempat di Bali yang diduga menjadi tempat maksiat juga pengeboman
Hotel Rich Carlton di Jakarta beberapa tahun silam. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah itu tidak sama dengan pembunuhan yang dielegalkan? Apakah dengan
menjatuhi hukuman mati pada seseorang lantas bisa menyelesaikan masalah atau
justru lebih banyak lagi masalah yang muncul? Lalu, bagaimana pandangan dari
segi agama, HAM dan psikologi? Mari Berdiskusi…!!!
Jika ditinjau
dari segi agama, khususnya agama islam yang merupakan mayoritas berada di
negara kita, maka terlebih dahulu merujuk pada kitab suci yakni al-Quran. Dalam
beberapa kitab tafsir telah dijelaskan bahwa adanya kebolehan untuk melakukan qishash.
Qishash yang bertujuan untuk membalas memang sudah ada sejak islam belum datang
yang telah tertulis dalam kitab Taurat. Dalam hal pembunuhan, seorang penguasa
diperbolehkan membunuh budaknya, seorang muslim diperbolehkan membunuh orang
kafir. Tetapi, jika dikonstekkan dengan masa sekarang, apakah masih ada
penguasa atau raja yang bertindak demikian? Sedangkan Hak Asasi Manusia telah
dijunjung tinggi, yaitu hak untuk hidup.
Dalam menilai
keputusan ini, tidak bisa hanya melihat dari satu pandangan. Karena dirasa
perlu memandang dari sisi HAM. Salah satu hak-hak asasi manusia terdapat hak
untuk hidup yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Berbeda
halnya dengan hak untuk mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang layak
misalnya, itu masih ada kemungkinan untuk tidak terpenuhi. Indonesia dalam UUD
45 memaparkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Tetapi, dalam UU dijelaskan
juga tentang hukuman mati bagi pelaku kejahatan tingkat berat. Mahkamah
Konstitusi sebagai pembuat undang-undang menyatakan bahwa adanya hukuman mati
untuk memberikan pengayoman bagi masyarakat yang lain. Di sini terdapat putusan
yang saling tumpang tindih. Selanjutnya, bagaimana Negara sebagai pemegang
wewenang tertinggi menjalankan hukuman mati ini?
Sedangkan,
ditinjau dari sisi psikologi perihal kasus hukuman mati, pastinya membawa
dampak yang begitu besar bagi pelaku sekaligus keluarganya. Ketika seseorang
telah diputuskan dihukumi mati baginya, pasti pelaku akan merasa drop
(mentalnya turun), merasa dikucilkan dan sudah tidak ada gunanya lagi untuk
hidup. Karena hanya tinggal menunggu waktu kapan sang malaikat Izrail yang
menjelma menjadi algojo akan mencabut nyawanya. Bisa jadi, ketika ada
selang waktu antara penjatuhan hukuman vonis dan pengeksekusian dilakukan, si
pelaku justru melakukan tindakan yang lebih brutal lagi. Selain bagi pelaku,
vonis hukuman mati juga menimbulkan tekanan batin bagi keluarga terpidana.
Orangtua terpidana akan merasa bahwa Negara atau siapapun tidak berhak untuk
mengambil nyawa anaknya. Apakah penegak hukum ingin berlagak sebagai Tuhan yang
dengan mudah mengambil nyawa seseorang?
Memang dalam
menanggapi masalah ini selalu saja ada pihak yang pro dengan keputusan Negara,
tetapi tidak sedikit pula yang kontra. Dari pihak yang setuju dengan hal ini
memiliki beberapa argument yang menguatkan putusan tersebut. Pertama, dalam
al-Quran telah diperbolehkan untuk melakukan qishash, meskipun tidak semua
imam. Kedua, bahwa tidak ada hukuman lain
yang lebih pantas diberikan selain hukuman mati. Ketiga, dengan dijatuhi
hukuman mati, maka si pelaku tidak akan mungkin melakukan kejahatan yang sama.
Pernyataan-pernyataan
tidak sepenuhnya bisa diterima. Beberapa argument tentang penolakan keputusan
ini juga beragam. Pertama, ketika seseorang telah dijatuhi hukuman mati, maka
tidak akan nada lagi kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dirinya
tidaklah bersalah. Dan jika suatu saat dia dinyatakan tidak bersalah, pihak
berwajib hanya bisa mngucapkan maaf tanpa bisa mengembalikan terpidana tersebut.
Kedua, masih ada cara lain jika yang diinginkan adalah agar tidak melakukannya
lagi, yaitu dengan terapi. Ketiga, manusia itu bukan Tuhan yang bisa seenaknya
mengambil nyawa seseorang.
Begitu banyak
argument yang dilontarkan dalam menanggapi hukuman mati tersebut. Lalu,
bagaimana sikap kita yang mana kekuasaan untuk memberikan penghakiman pada saat
ini bukan di tangan kita? Kita dituntut untuk selalu bersikap skeptis terhadap
keputusan apapun, agar kita tidak berhenti untuk berfikir dan belajar. Jika
memang keputusan tersebut kurang atau tidak sesuai, maka kita bisa
menyuarakannya. Salam JAMFUD…!!!
Tulungagung
22 November 2016
PUISI
2 DESEMBER
Oleh: Ahan
Aku hendak bicara
tapi pada siapa?
Sedang dunia saja
enggan disapa.
Seluruhnya berbondong.
Berteriak serak, maju serbu
ditengahnya serdadu.
Di genggamnya kapak dan batu.
Menuntut pada siapa?
Sedang hukum dan ideologi
saja sudah tak lagi berharga.
Terselip di kantong saku
para penguasa.
Kepada siapa mau bersabda?
Demi seutas panji yang difatwa.
Mengakunya umat beragama.
Tidaklah berlaga seperti
kurcaci tua.
Alqur'an Sebagai Dasar
Renaisans Islam
Oleh: Thoriq (TP 1)
Menarik untuk disimak, judul diatas adalah salah satu judul sebuah
artikel dalam buku "Islam Madzhab Tengah: Persembahan 70 Tahun Tarmizi
Taher". Buku dengan tebal 528 halaman itu terdiri dari beberapa buah
artikel karya tiga puluh dua orang.
Beberapa cendekiawan muslim 'beken', disitu ada nama Kh. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Kh. Mustafa Bisr (Gus Mus), Kh. Sahal Mahdudh, Alwi Shihab,
Mun'im Sirry, Prof. Said Aqil Siraj, Zuhairi Misrawi, dll.
Buku ini hadir merefleksikan betapa besar khazanah pemikiran dan
gerakan Islam yang terus mengalami perkembangan. Pemikiran pada zaman ini,
merupakan perwujudan tongkat estafet dari pemikir-pemikir Islam di masa lalu.
Model pemikiran era modern sekarang ini merujuk pada pemikiran yang moderat
(madzhab tengah). Dan mengapa dipilih menjadi pemikiran yang moderat? Hal ini
di latar belakangi dengan maraknya pemikiran ekstrem dan liberal. Oleh karena
itu, buku ini hadir sebagai bekal umat muslim agar menjadi " ummatan
wasathan".
Dalam buku terbitan Grafindo Khazanah Ilmu tahun 2007, tepatnya
pada halaman 125 terdapat artikel dengan
judul diatas tersebut. Artikel tersebut di tulis oleh Dewan pendiri dan
penyantun Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan mantan Mentri Negara
Lingkungan Hidup yaitu Bapak Emil Salim. Seingat penulis, beliau adalah
penggagas Program Kali Bersih atau biasa disingkat dengan Prokasih, sewaktu
beliau menjadi Mentri Negeri Lingkungan Hidup.
Dalam artikel tersebut, beliau menulis artikel dengan judul
"Alqur'an Sebagai Dasar Renaisans Islam" . penulisan artikel tersebut
lahir karena kegelisahan beliau terkait keberadaan komunitas umat Islam
sekarang ini. Mayoritas komunitas Muslim masih terpenjara oleh fenomena
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan berbagai konflik antar sesama.
Padahal Allah SWT sudah berfirman dalam Qs. Al-Mujadilah :11 ;"...Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan."
Islam adalah agama yang sempurna dan tinggi. Hal itu tersurat dalam
ungkapan "al-islamu ya'lu wala yu'la 'alaihi" (Islam adalah
agama yang tinggi dan tidak ada yang menyamainya). Lantas mengapa realita
sekarang komunitas Muslim mengalami banyak ketertinggalan? Ini sangat berbeda
dengan komunitas Muslim pada abad ke tujuh dan juga umat Islam pada abad
pertengahan, dimana pada abad tersebut Islam telah mencapai masa keemasanya
(the golden age). Dari realitas tersebut, pasti ada yang salah dari komunitas
Muslim era sekarang. Lalu bagaimana cara komunitas Muslim sekarang mengembalikan
kejayaan masa lalu??
Sebelum menjawab beberapa pertanyaan tersebut, beliau menganalisis
faktor kemajuan yang dicapai oleh komunitas Muslim pada masa lalu. Sejarah
mengatakan bahwa umat Islam pada abad ke tujuh dan juga pada abad-abad pertengahan
yang mengalami masa puncak kejayaannya itu karena tidak terlepas dari Alqur'an
dan hadith. Umat Islam pada masa lalu menjadi pemimpin dunia, baik di bidang
politik, maupun di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan pada zaman
sekarang masih tercium harum nama-nama ilmuan Muslim sebut saja misalnya, Ibnu
Khaldun, Ibnu Rusyd, Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dll. Komunitas umat Muslim pada
masa lalu begitu sepektakuler yang tercatat mengalahkan peradaban imperium besar pada waktu itu,
Persia dan Romawi. Lalu kenapa umat Islam sekrang tertinggal jauh dari
peradaban dunia sekarang ini? Oleh karena itu perlu di adakanya renaisans dalam
Islam.
Konsep Renaisans dalam Islam berbeda dengan Konsep Renaisans Barat
tempo dulu. Reaisans Barat pada masa lalu, yang terjadi di Perancis pada abad
ke-14 adalah gugatan atas supremasi Gereja Katolik Roma dan tumbuhnya paham
Individualisme. Renaisans di Barat di baca dari matinya feodalisme bangkitnya
individualisme dan penentangan terhadap supremasi Gereja Katolik Roma. Berbeda
dengan Islam, Konsep Renaisans Islam tidak ada pertentangan dengan persatuan
agama dan negara seperti yang di capai oleh umat Islam masa lalu. Kesimpulanya,
jika umat Islam sekarang ingin meraih kesuksesan masa lalu harus kembali pada
ajaran dasar Islam itu sendiri yaitu Alqur'an dan hadith.
Hal yang membedakan kemajuan komunitas Islam sekarang dengan
Komunitas Muslim masa lalu adalah 'pembacaan' terhadap teks keagamaan tersebut,
yakni Alqur'an dan hadith. Umat Islam masa lalu dapat mencapai ilmu pengetahuan
tertinggi pada masanya di karenakan pembacaanya. Sebenarnya umat Islam dahulu
maupun sekarang sudah mengetahui bagaimana untuk menjadi komunitas yang tinggi
dan maju dalam peradaban dunia, yaitu dengan membaca. Seperti menurut jumhur
ulama' ayat pertama yang turun adalah Qs. al-'alaq, disitu ada kata Iqra'
yang artinya membaca, dengan membaca inilah umat Islam akan mencapai peradaban
yang tinggi. Tetapi perlu diingat, "membaca" dalam ayat tersebut
menurut M. Quraish Shihab memiliki banyak penafsiran yaitu menghimpun, seperti
membaca teks, membaca realitas, mebaca situasi, dll. dan inilah yang membedakan
komunitas Muslim dahulu sekarang
pengkajian beliau, ada dua alur pemikiran yang mengantarkan umat Islam ke posisi
puncak pada saat itu, yaitu pendalaman ilmu syariat dan ilmu
filsafat dan alam. Pendalaman ilmu syariat melahirkan empat madzhab terkenal,
yaitu Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hambali. Selain mendalami ilmu syariat juga
mendalami ilmu hikmah atau ilmu filsafat yamg menekankan pada ilmu alam. Inilah
yang mengantarkan ke prestasi puncak umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan
dan kedokteran. Kemajuan umat Islam waktu itu di dasari pada pembacaan terhadap
Alqur'an dan hadith yang kemudian dengan disertai tindak lanjut dari penelaahan
terhadap Alqur'an dan hadith tersebut melalui penelitian-penelitian. Tidak
hanya itu, penerjemahan besar-besaran buku-buku dari Romawi dan Yunani pada
masa Khalifah al-Makmun yang ikut memainkan peranan penting umat Islam saat
itu.
Kelemahan umat Islam saat ini, menurut beliau adalah pada lemahnya
pengkajian terhadap Alqur'an. Alqur'an oleh Umat Islam sekarang hanya di
jadikan bahan bacaan saja tidak ada tindak lanjut dari pembacaan tersebut.
Alqur'an adalah kitab yang memuat segala sumber ilmu pengetahuan. Tetapi yang
perlu di ketahui bukanya Alqur'an dengan rinci menjabarkan teori-tori ilmu
pengetahuan, akan tetapi yang di maksud dengan "semua" disini adalah
tanda-tanda atau indikasi adanya teori ilmu pengetahuan tersebut. Jadi, disini
umat Islam harus menggunakan akal pikiranya untuk mengetahui hal konkrit apa
yang di maksudkan Alqur'an tersebut. Sebagai contoh mereka mengkaji ilmu alam,
mereka mengkaji ayat-ayat Alqur'an yang membicarakan alam, langit, dan lain
sebagainya. Sementara, saat ini, kita sering banyak membaca ayat, tetapi tidak
mengkajinya.
Selanjutnya kelemahan dari umat Islam sekarang, menurut beliau
adalah terlalu mementingkan ilmu syariat
dan meninggalkan ilmu filsafat. Hal ini yang menyebabkan mereka mulai berhenti
untuk bertanya. Hal ini di perparah lagi tidak di bolehkanya bertanya pada
ayat-ayat Alqur'an karena menurut mereka sudah di rumuskan oleh ulama-ulama
masa lalu terutama dalam pembacaan ilmu syariat (fiqih). Umat Islam sekarang
tidak mau bertanya dan hanya mengikuti apa yang dirumuskan ulama terdahulu, dan
disinilah umat Islam mengalami kejumudan berpikir dan yang mengakibatkan
kemunduran umat Islam.
Menurut beliau, jika umat Islam ingin bangkit dan mengejar kemajuan
ada beberapa hal yang harus dilakukan : pertama, mencari kelemahan diri kita.
Jangan mencari kambing hitam dan jangan menimpakan kesalahan pada pihak lain.
Sebab dengan logika itu, kita akan menghindari intropeksi. Intropeksi diri
sangat perlu dilakukan, dengan mengetahui kelemahan diri sendiri maka kita
dapat berbenah untuk menjadi lebih baik.
Kedua, belajar dari sejarah. Kemajuan agama pada masa lalu, di
pelopori oleh ulama yang gemar membaca, menulis, dan berfikir. Jadi akal di
kembangkan serentak dengan pengembangan kalbu. Ada keseimbangan antara akal dan
kalbu.
Ketiga, mengembangkan ukhuwah islamiyah dan solidaritas antar umat.
Hal ini penting untuk dilakukan, karena kalau kita mau menyadari bahwa umat
Islam sekarang ini "terkotak-kotak" yang terpecah pada
golongan-golongan dan parahnya lagi umat Islam saling mengklaim pada golonganya
saja yang paling benar dan menganggap sesat golongan lain akibatnya terjadi
perpecahan antar umat.
Setelah memaparkan beberapa pemikiranya kemudian artikel tersebut
di tutup dengan ajakan beliau untuk menjadi umat Islam yang inklusif, umat yang
terbuka terhadap perubahan zaman. Beliau mencitrakan seorang khalifah al-Makmun
yang mempelopori penerjemahan buku-buku filsafat dari Romawi, Yunani kuno, dll.
Yang intinya ilmu itu datang dari mana saja, janganlah kita memandang asal ilmu
tersebut. Melainkan adalah sikap kita (umat Islam) dalam menerjemahkan ilmu ke
dalam perbuatan. Bagi umat Islam pengejawantahan harus di bimbing moral yang di sinari oleh cahaya iman.
Meskipun demikian, sumber ilmu
pengetahuan bisa berasal dari mana saja, bukankah Rasul pernah bersabda
tuntutlah ilmu walau harus ke negri China. Jadi tidak perlu risau dan anti-pati
terhadap Barat atau anti Timur dalam menuntut ilmu. Insya Allah dengan kekuatan ilmu dan mengedepankan moral umat Islam akan kembali
bangkit dan menjadi khalifah di bumi.
(Masih) DI BAWAH
BENDERA YANG SAMA
Oleh: Rizka Hidayatul Umami (Tacin)
Mereka sedang
bersama-sama menengadahkan wajah ke langit. Di bawah sinar redup rembulan. Di
sebuah atap gedung tua, dengan bercak hitam di segala sisi. Di bawahnya ada
ruang minim oksigen yang menjadi tempat utama pertemuan mereka. Hanya ruang
sempit berdiameter 2x3. Ada tikar gulung, sapu lantai, satu gitar, galon
kosong, dan jajan yang mereka bawa dari kos atau kontrakan.
Sementara waktu
menunjukkan pukul 20:35. Mereka masih menengadah ke langit. Hanya bertiga dan
merenung sendiri-sendiri. Masing-masing tidak saling mengerti. Tidak saling
menahu, dan mencoba memahami. Hanya mengenal nama, dan tempat tanggal lahir.
Dengan profesi yang sama, yakni mahasiswa abadi.
Lima bulan
terakhir mereka dekat. Tapi masih bersekat. Hanya ingat bahwa ingus tidak lagi
membuat malu. Sekedar ingat usia yang telah menginjak sepuh. Ah tidak, hanya
saja mereka sudah masuk lebih jauh dari tahun ke dua puluh. Tidak banyak hal
yang mereka ingat dari cerita masing-masing di awal pertemuan. Hanya lempengan
cerita tidak begitu penting. Seperti keseringan tidur di kolong meja ruang
kelas, atau ikut demo masalah kenaikan gaji PNS, demo penegakan HAM, atau
aksi-aksi sebagaimana aktivis lainnya.
Tiga, sampai
lima putung rokok telah terlempar ke lantai ubin yang dingin. Bungkus jajan
seharga 500 perak dengan banyak variasi, telah ludes mereka habiskan lewat satu
jam yang lalu. Dan sudah lebih dari 3 jam menunggu. Yaa, menunggu salah satu
dari mereka bertiga memulai perbincangan kecut itu.
Bukan sekedar
basa-basi. Mereka sering seperti ini. Berada pada keadaan yang mencerca diri.
Diam seakan menjadi perisai untuk tidak saling membenamkan pada putusan yang
salah. Namun justru seringnya, diam yang membuat mereka makin kalut dengan
keadaan yang sejatinya bersalah.
“aku atau
kalian yang mulai?” Tanya Rukma satu-satunya perempuan diantara mereka bertiga.
“apa lagi yang
mau kau mulai? Kita sudah selesai sekarang.” Tegas eL.
Keadaan kembali
hening dan semakin hening dengan bunyi cicak yang rakus. Cicak menjadi gemuk di
pertengahan bulan November. Musim hujan membawa segerombol nyamuk masuk ke
dalam ruang kerja mereka. Banyak cicak yang kemudian mampir untuk mencari
santapan. Atau kadang menertawakan tingkah munafik ketiga orang di dalam
ruangan tersebut.
Satu persatu
dari mereka kemudian pergi. Masuk ke dalam ruang sempit dan buru-buru keluar
karena tersengal-sengal. Kehilangan napas. Dering telfon milik Eksa berbunyi
sangat keras. Volume maksimal sengaja disetel agar tidak ada panggilan yang
terlewat.
“iyaa, kami
usahakan, kami siap!!” jawab Eksa mantap.
Tidak lama
berselang. Eksa menyusul kedua teman barunya naik ke atas atap gedung tua
dengan membawa gitar, yang lagi-lagi terbilang tua.
Masih dengan
posisi yang sama. Kegiatan yang sama. Menghisap rokok dan menengadahkan wajah
ke langit. Di tambah tiga cangkir jumbo berisi kopi arang. Kopi dari tumbukan
kacang hijau dengan tambahan bau arang. Teman sejati dalam berbagai kondisi.
2500 rupiah untuk secangkir kopi dengan berjam-jam nongrong full wifi.
Tanpa takut diusir atau disuruh pergi karena warkop langganan buka sampai pagi.
Warkop
langganan mereka buka hari senin sampai minggu kecuali malam jum’at. Dari pukul
17;00 sampai 06;00 tanpa jeda. Menyediakan part time untuk
mahasiswa-mahasiswa yang kekurangan uang jajan atau yang berjuang membayar
tunggakan kos dan kontrakan. Pemiliknya sendiri adalah mahasiswa jurusan
akutansi yang juga abadi seabadi mereka bertiga. Sekali waktu si pemilik ikut
nimbrung bersama mereka. Untuk mencuci otak katanya. Membersihkan otak dari
racun-racun yang ditebar oleh para pemilik kepentingan, lewat media sosial,
atau surat kabar milik kelompok mayoritas.
Tapi kali ini
mereka hanya membeli untuk dibawa ke gedung tua. Tiga cangkir jumbo mereka
pinjam dari pemilik warkop tanpa imbalan atau uang tambahan. Seruput demi
seruput mereka layangkan kecangkir masing-masing. Bibir yang hitam dan mata
yang cekung, khas dari mereka yang tidak akan tertolak.
“jika tidak ada
yang memulai. Aku akan memulai. Jadi… kita belum selesai.” ucap Eksa dengan
mimiknya yang datar.
“jadi?
Maksutnya?” Tanya eL.
“aku yakin kita
memang tidak akan selesai seperti ini.” Sahut Rukma meyakinkan keduanya.
Sembari saling
memandang, kemudian mereka tertawa.
“yess….
Akhirnya.” Ketiganya saling menepuk bahu, bersahutan meluapkan kegembiraan.
Seruput
terakhir dari cangkir eL. Keheningan yang tercipta sedari senja, lenyap. Bunyi
jangkrik tak lagi mendominasi suasana malam. Bulan telah tertutup awan dan
mendung berbuku-buku mengundang gerimis tipis. Malam yang nyaris pekat oleh
gelap. Suasana kembali mencair.
“dasar
manusia-manusia berkepribadian ganda.” Sergah eL.
“iya, dan tidak
hanya aku, tapi juga kalian semua. Bukankah kita sama saja?” tekas Eksa membela
diri.
“iya sama.
Individualis dan tidak mau mengalah. Coba kita lebih egois dari ini. Kabar dari
Eksa pasti kita abaikan begitu saja. Kita memilih enyah, dan berakhir dengan
kata selesai. Iya kan?” Rukma menyulutkan lagi kegeramannya. Memandang eL yang
memulai isu pembubaran mereka.
Empat hari
sebelum pertemuan terakhir, tertanggal 10 November 2016, nama mereka hangus
dari dapur rekaman. Pihak panitia bagian penjurian kalang kabut. Beberapa
peserta sudah lebih dulu gagal audisi. Mereka didiskualifikasi karena dianggap
plagiasi. Tidak ada yang dinyatakan menang oleh juri. Hanya info ralat dan permohonan
maaf, semacam konferensi pers pada media yang turut meliput tanpa gaji.
Sehari kemudian
studio rekaman milik salah satu sponsor kegiatan terbakar. Tiga rumah di
sebelah kanan dan kiri turut jadi korban. Banyak pihak yang menduga-duga,
berbisik dengan sesamanya. Mengira band yang gagal menanglah pelakunya. Alhasil
nama “Gado-gado” tercoreng. Dipastikan bubar karena tidak akan ada manggung
bareng atau sekedar check sound. Sementara penyelidikan oleh polisi
memakan waktu seminggu.
Tapi Tuhan Yang
Maha Kasih menulis skenario yang berbeda. Sehari sebelum malam pertemuan
mereka, polisi menyatakan mereka tidak bersangkutan, sama sekali. Yaa, alias
tidak bersalah. Pihak panitia kemudian bersujud-sujud kepada mereka bertiga.
“kami mohon
maaf kepada mbak dan mas. Ternyata ada kongkalikong antara beberapa panitia
dengan pihak luar. Sehingga hasil penjurian dipalsukan, dan mas juga mbak jadi
tertuduh. Sekali lagi kami mohon maaf karena telah mencoreng nama grup band
mas-mas dan mbak.” Pinta salah satu perwakilan panitia penyelenggara lomba.
“kira-kira apa
alasan mereka melakukan ini semua pak? Ini tidak akan masuk akal. Karena
kemenangan kami juga tanpa uang.” Tegas eL
“apa karena
kita aktivis? dan lagi masalah kebakaran yang menimpa studio musik salah satu
sponsor. Itu konyol jika hanya karena kemenangan kami.” Tambah Rukma dengan
nada menegaskan.
“Ini masalah
kepentingan satu pihak mbak. Dan kalian adalah semacam umpan. Yaa, umpan yang
baik karena status kalian dan daftar nama kalian di beberapa demonstrasi. Polisi
menjelaskan kepada kami duduk perkaranya. Pada dasarnya manusia memang tidak
ingin kalah dengan yang lain. Saling sikut dan menjatuhkan, itulah yang
terjadi.”
“lalu korban
kebakaran itu?”
“dua orang
dinyatakan meninggal karena luka bakar parah mencapai 85%. 10 orang termasuk 3
balita masih menjalani perawatan mas.”
“kenapa sampai
setega itu? Apa ada unsur lain? Semacam dendam? Ini bukan kita yang celaka pak,
tapi orang lain. Yang tidak tau apa-apa. Kenapa seperti ini?”
“saya… saya
tidak menahu tentang itu. Saya juga merasa berdosa disini mbak. Saya hanya
memikirkan keselamatan saya sendiri saat di TKP. Saya tidak bisa menolong
siapapun.” Jawab bapak paruh baya itu dengan terisak.
Mereka kemudian
menengadahkan wajah kisut itu ke hamparan langit. Pukul 18;20 eL meminta pamit
kepada kedua rekan barunya. Hidupnya dirasa kacau setelah kejadian hari itu.
Dimana borgol sempat membeku di kedua pergelangan tangannya. Sakit hati,
kecewa, dan rasa bersalah menggembung. Merasa tidak lagi berguna bertahan dalam
lingkaran itu. Hal yang sama dirasa oleh Eksa. Lantunan gitarnya hanya berbunyi
satu nada, tanpa irama.
“aku selesai.
Ini semua omong kosong. Demo-demo kita omong kosong. Gila semua. Konyol.” eL
berdiri dan berteriak kepada keduanya.
Sementara
kegeraman nampak pada wajah gadis 21 tahun yang menjadi maskot grup mereka.
Rukma sangat marah tapi menahan diri. Ia menyadari pikiran mereka bertiga
kacau. Pertemuan yang diharapkan seperti cambuk berduri. Tidak akan ada setitik
cahaya yang mampu menembus lapisan debu tanpa inci. Perasaan mereka malam itu.
Tapi Eksa
menepiskan kegeraman Rukma dan keputusan sepihak eL sebagaimana fungsi
pendingin ruangan terbuka kala itu. Angin meniupkan hawa segar dan anyir dari
gerimis yang jatuh ke tanah.
Sebuah telefon
yang semula dianggap tidak penting oleh Rukma dan eL, nyatanya membawa rona
mereka kembali. Sebuah panggilan dari seorang dosen sepuh. Terkenal dengan
sundanism dan lawakan gurih. Dosen kesayangan mahasiswa semester tua di
fakultas filsafat. Mereka memanggilnya Abah.
Isi
perbincangan Eksa dengan Abah mengundang tanya. Ada rasa penasaran dan
keingintahuan di atas rata-rata. Abah meminta “Gado-gado” untuk manggung di
pra-acara peringatan hari toleransi sedunia. Bukan main puji-pujian yang mereka
lontarkan kepada Tuhan.
“jangan takut,
kita sama dimata Tuhan, di mata hukum, kita berpijak di bumi yang sama, dan
kalian tidak bersalah. Eh, jadi ingat. jangan lupa ya, khusus untuk saya,
nyanyikan lagu The Scorpions Under The Same Sun.” pinta dosen humoris
itu.
Rabu, 16 November
2016, masih pagi. Jam dinding di gedung tua yang baru saja mereka pasang masih
menunjukkan pukul 07;05. Mereka telah bersiap dengan gitar dan badan
masing-masing. Sarapan dengan sebungkus roti dan air mineral berukuran tanggung
untuk bertiga. Dan seperti biasa, mereka menuju ke atas atap gedung tua sebagai
ceremonial singkat sebelum tampil untuk menghibur. Tiang bendera dengan
tinggi 3 meter sengaja mereka pasang, dua bulan yang lalu. Mereka memberi
hormat. Kepada bendera kebangsaan yang mereka junjung tinggi.
“ternyata kami
masih hidup sampai saat ini. Kami bebas dan merdeka. Kami sadar bahwa kami
masih berada di bawah bendera yang sama. Kemarin adalah kebodohan. Untuk apa
kami bercerai berai, mengunggulkan ego untuk kepentingan pribadi? Padahal
dengan bersama, kami jauh lebih sakti. Hai Bumi Pertiwi, kami siap mengabdi
dengan cara kami.” Teriak Rukma dengan simpul di bibirnya, sembari
menyunggingkan senyum pada eL.
0 komentar:
Posting Komentar