Oleh Ahmad Farhan Alif
(Pengurus DEMA FUAD Devisi Penelitian dan Pengembangan)
(Pengurus DEMA FUAD Devisi Penelitian dan Pengembangan)
Dalam diri
manusia terdapat banyak ikatan (gumantung) yang berasal dari kebutuhan jiwani
dan ragawi. Jiwa terikat dan bergantung pada cinta, kasih sayang, kenyamanan,
ketenangan, pujian, dan lain-lain. Sedangkan raga terikat dengan makan, minum,
pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun selain kebutuhan, manusia juga
terikat dengan keinginan yang menciptakan gaya hidup. Makan dan minum tidak
lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk kemewahan dan gengsi, begitu
juga rumah dan pakaian.
Ikatan-ikatan
itu yang kita kenal dengan sebutan NYAWA. Seperti kata “bersenyawa” yang
berarti saling mengikat atau saling bergantung. Gula dan garam bersenyawa
dengan air, wewangian bersenyawa dengan angin, warna bersenyawa dengan benda,
api bersenyawa dengan udara, dan lain-lain.
KEMATIAN adalah
putusnya ikatan-ikatan tersebut. Dalam kematian normal (karena sakit) lepasnya
nyawa terjadi secara bertahap. Berawal putusnya ikatan kaki berakibat
hilangnya keinginan untuk bepergian. Putusnya ikatan pencecap (lidah) berakibat tidak lagi menginginkan makanan dan minuman enak. Putusanya ikatan
perut berakibat pada hilangnya selera makan dan minum. Putusnya ikatan
birahi berakibat pada hilangnya keinginan untuk menyalurkan kepuasan
seksual pada lawan jenis. Puncaknya adalah lepasnya ikatan rasa yang berpusat
di ulu hati berakibat pada memudarnya segala keinginan.
Kemampuan
manusia dalam melepas ikatan-ikatan kebutuhan dan keinginan itu oleh orang Jawa
disebut “mati sak jroning urip”, mati dalam hidup. Mengapa “mati sak jroning
urip” penting? Bagi manusia “mati sak jroning urip” adalah exercise
(latihan). Ketika raga tidak lagi bisa mengikat SANG HIDUP, manusia tidak perlu
repot untuk melepaskannya agar bisa diserahkan kembali kepada PEMILIK SEJATI.
0 komentar:
Posting Komentar