Sabtu, 18 Maret 2017

Mati Sak Jroning Urip

Oleh Ahmad Farhan Alif
(Pengurus DEMA FUAD Devisi Penelitian dan Pengembangan)



Dalam diri manusia terdapat banyak ikatan (gumantung) yang berasal dari kebutuhan jiwani dan ragawi. Jiwa terikat dan bergantung pada cinta, kasih sayang, kenyamanan, ketenangan, pujian, dan lain-lain. Sedangkan raga terikat dengan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Namun selain kebutuhan, manusia juga terikat dengan keinginan yang menciptakan gaya hidup. Makan dan minum tidak lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk kemewahan dan gengsi, begitu juga rumah dan pakaian.
Ikatan-ikatan itu yang kita kenal dengan sebutan NYAWA. Seperti kata “bersenyawa” yang berarti saling mengikat atau saling bergantung. Gula dan garam bersenyawa dengan air, wewangian bersenyawa dengan angin, warna bersenyawa dengan benda, api bersenyawa dengan udara, dan lain-lain.
KEMATIAN adalah putusnya ikatan-ikatan tersebut. Dalam kematian normal (karena sakit) lepasnya nyawa terjadi secara bertahap. Berawal putusnya ikatan kaki berakibat hilangnya keinginan untuk bepergian. Putusnya ikatan pencecap (lidah) berakibat tidak lagi menginginkan makanan dan minuman enak. Putusanya ikatan perut berakibat pada hilangnya selera makan dan minum. Putusnya ikatan birahi berakibat pada hilangnya keinginan untuk menyalurkan kepuasan seksual pada lawan jenis. Puncaknya adalah lepasnya ikatan rasa yang berpusat di ulu hati berakibat pada memudarnya segala keinginan.
Kemampuan manusia dalam melepas ikatan-ikatan kebutuhan dan keinginan itu oleh orang Jawa disebut “mati sak jroning urip”, mati dalam hidup. Mengapa “mati sak jroning urip” penting? Bagi manusia “mati sak jroning urip” adalah exercise (latihan). Ketika raga tidak lagi bisa mengikat SANG HIDUP, manusia tidak perlu repot untuk melepaskannya agar bisa diserahkan kembali kepada PEMILIK SEJATI.

0 komentar:

Posting Komentar