Rabu, 05 April 2017

Mengkritik, Awal Kesadaran Lingkungan


Membedah Film dengan berbagai perspektif yang dipakai. Kalimat yang dipakai Seli Muna Ardiani (Divisi Intelektual dan Literasi DEMA FUAD IAIN Tulungagung)  untuk mengawali  diskusi Forum Mahasiswa FUAD (FORMAD) yang kebetulan dimotori DEMA FUAD IAIN Tulungagung pada tanggal 04 April 2017 di lantai 02 Gedung baru. Rutinitas ini tiap kali dilaksanakan, lebih tepatnya mumpung ada kesempatan berkumpul. Tidak ada tema spesifik yang diusung, hanya refleksi kegiatan bedah film “Green karya Patrick Rouxel” yang dihelat sebelumnya. Masalah-masalah lingkungan menjadi sorotan dengan memakai Perspektif Eko-Feminisme, Kapitalisme dan mitos-mitos kebudayaan. Ketiga Perspektif itu sebenarnya hanya gerbang awal membuka perdiskusian dalam memandang Alam. Ada pertanyaan yang membingungkan semua pihak saat berdiskusi, Bagaimana kita mendengungkan kesadaran menjaga lingkungan ketika kita menjadi bagian dari kapitalisme ?
Landasan normatif kelestarian lingkungan dalam Islam bisa kita temukan di surat Ar Rum ayat 41-42, surat Al A’raf ayat 56-58 yang secara eksplisit melarang kerusakan di Muka bumi. Kerusakan darat dan laut  yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh manusia. Oleh karena itu manusia yang akan menerima dampak perbuatannya. Ia hanya bisa mengambil pelajaran dari lelulur sebelumnya. Ketika efek sudah tersebar, mau bagaimana lagi, selain menikmati kecongkakan manusia mengeksploitasi habis-habisan sumber daya yang ada.
Keseimbangan antara Alam dan manusia harus dihadirkan. Berbagai penafsiran mulai muncul dengan argumentasi yang cukup meyakinkan. Pandangan intersubjektivitas yang menganggap alam itu hidup. Kebersamaan dalam kehidupan menimbulkan bentuk pertemanan dan penghargaan atas alam. Manusia ibarat kelelawar yang merespon gelombang frekuensi untuk menangkap sesuatu di sekitarnya. Ini perumpamaan yang logis dalam menghubungkan alam dan manusia.
Aktivis perempuan dan seniman, Dewi Candraningrum dalam bukunya yang berjudul Ekofeminisme II:Narasi Iman, Mitos, Air  dan Tanah memberikan pandangan baru. Terdapat hubungan antara perempuan dan alam dari sisi harfiah dan simbolis. Harfiah menekankan perempuan berada pada wilayah domestik dan alam efek yang ditimbulkan budaya patriarki. Simbolis bertumpu pada pelabelan, mengacu pada penjadian obyek untuk alam. Seperti yang kerap kita dengar misalnya, Ibu pertiwi. Simbolisasi pada perempuan tersematkan dengan nama-nama yang berbau alam. Kembali lagi, alam dan manusia memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai bentuk nyata kita lihat perempuan kendeng yang rela menabuh genderang perang pada pemodal. Gugurnya bu Patmi, menorehkan luka dan tangis. Sosok yang menjadi salah satu pahlawan dari sekian orang yang memperjuangkan kelestarian alam.
Mitos-mitos kebudayaan hadir menyelimuti manusia. Kepercayaan manusia yang beranggapan ada sesuatu yang melebihi manusia, sesuatu yang lebih penting untuk bersandar. Ketidaknampakan kejadian yang berbau mistis menorehkan prinsip kehidupan selalu berkaitan dengan alam. Sekilas mitos dianggap kuno di zaman seperti ini, siapa sangka fungsi yang dirasakan begitu besar. Manusia ketakukan dengan mitos yang dinampakkan, alampun terjaga dari kejailan manusia. Penguatan mitos tidak berdampak ketika kekuasaan akan ekonomi menajamkan taringnya. Semua sirna karena terlenanya kekuasaan.
Kehadiran Rasio manusia di belahan Eropa yang semakin canggih dalam berpikir, menghasilkan bentuk-bentuk yang baru dalam bidang militer, penemuan mesin uap, percetakan. Semuanya menghasilkan racun bagi perjalanan alam ini, disamping sisi positif yang ditampilkan. Bidang militer sebagai awal mula kolonialisme, sistem yang begitu keji dan menyiksa penduduk pemilik sumber daya. Pengerukan sumber daya tak berkesudahan tidak dapat dielakan. Mesin uap sebagai pencetus keilmuan yang mampu dipraktekkan. Ilmu bagaikan anak kecil lugu yang selalu meminta-minta sesuatu, keinginan yang tidak dituruti membuat anak kecil tersebut menangis. Begitu lugunya manusia dalam memandang ilmu. Percetakan hadir sebagai pendukung keilmuan untuk dikembangkan dan disebarkan.
Kabar Akbar, warga dari Mamuju tengah, Sulawesi yang sedang memanen kelapa sawit tewas dimakan ular phiton. Ular phiton biasanya memangsa babi hutan dan rusa. Logika kapitalisme menemukan momentum kejahatannya. Protret sistem kapitalis dalam mengganggu ekosistem yang ada. Ekosistem yang berjalan sesuai koridor mulai goyah. Tidak hanya itu saja, pengerukan hasil pertambangan gila-gilaan juga terjadi. Sirkulasi salah satu mata rantai terputus, dampaknya sudah jelas. Ketidakseimbangan ekosistem telah terbukti, solusi apakah yang ditawarkan ? pura-pura tidak tau atau malah acuh.
Alam menjadi proyek besar untuk dieksploitasi bagi kaum kapitalisme, bumi yang hijau tinggal menunggu kelapukannya. Semangat perluasan wilayah juga digencarkan di masa Islam maupun Eropa. Titik perbedaan kenampakan terlihat dalam keterhinggapan eropa terhadap kapitalisme, tidak bias di bantah. Kecanggihan rasio membuat teknologi mempermudah pekerjaan manusia. Pengaruh kapitalisme tak mungkin hilang bila bersanding modernitas yang ditampilkan. Atau malah ini wacana, yang bagi Michel Foucault sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Kita tidak akan bisa keluar dari wacana yang membentuk kapitalisme.
Hanya sedikit manusia yang memiliki kesadaran terhadap alam semesta, salah satunya Mourice Bucke. Pandangannya mengenai kesadaran perlu kita gunakan. Kesadaran terbagi menjadi 3 macam. Pertama, Kesadaran sederhana yang sifatnya seperti hewaniyah. Kedua, Kesadaran diri yang sehari-hari kita pakai. Sudah mampu memandang Subyek-obyek. Ketiga, Kesadaran kosmik yang relasi subyek-obyek melebur. Manusia memandang alam sebagai satu kesatuan yang hidup dan dianggap sebagai subjek. Kesadaran yang ketiga inilah yang cocok untuk memandang alam. Kering kerontangnya alam sekarang ini berimbas pada anak cucu kita. Dunia yang ada, sekarang seperti ini, bagaimana nasib cucu kita nanti bisa menikmati.
Pada gilirannya, manusia tetap menjadi bagian dari dunia. Tetapi apa itu yang ingin diharapkan. bila dunia dirusak tanpa memperhitungkan jangka panjang. Setidaknya kesadaran mengkritik kerusakan alam yang disebabkan kaum-kaum kapitalisme jalan pertama, walaupun kita juga termasuk di dalamnya. Karena kritikan itu membedakan satu manusia dengan manusia lain. Kritikan ialah awalan yang baru. Tentu kritikan tidak akan bekerja hanya dengan mengetahui saja, tanpa memahami kapitalisme. [Cogito Imam]

0 komentar:

Posting Komentar