Membedah Film dengan berbagai perspektif yang dipakai. Kalimat yang
dipakai Seli Muna Ardiani (Divisi Intelektual dan Literasi DEMA FUAD IAIN
Tulungagung) untuk mengawali diskusi Forum Mahasiswa FUAD (FORMAD) yang kebetulan
dimotori DEMA FUAD IAIN Tulungagung pada tanggal 04 April 2017 di lantai 02
Gedung baru. Rutinitas ini tiap kali dilaksanakan, lebih tepatnya mumpung ada
kesempatan berkumpul. Tidak ada tema spesifik yang diusung, hanya
refleksi kegiatan bedah film “Green karya Patrick Rouxel” yang dihelat
sebelumnya. Masalah-masalah lingkungan menjadi sorotan dengan memakai
Perspektif Eko-Feminisme, Kapitalisme dan mitos-mitos kebudayaan. Ketiga
Perspektif itu sebenarnya hanya gerbang awal membuka perdiskusian dalam
memandang Alam. Ada pertanyaan yang membingungkan semua pihak saat berdiskusi, Bagaimana
kita mendengungkan kesadaran menjaga lingkungan ketika kita menjadi bagian dari
kapitalisme ?
Landasan normatif kelestarian lingkungan dalam Islam bisa kita temukan
di surat Ar Rum ayat 41-42, surat Al A’raf ayat 56-58 yang secara eksplisit
melarang kerusakan di Muka bumi. Kerusakan darat dan laut yang terjadi di muka bumi disebabkan oleh
manusia. Oleh karena itu manusia yang akan menerima dampak perbuatannya. Ia
hanya bisa mengambil pelajaran dari lelulur sebelumnya. Ketika efek sudah tersebar,
mau bagaimana lagi, selain menikmati kecongkakan manusia mengeksploitasi
habis-habisan sumber daya yang ada.
Keseimbangan antara Alam dan manusia harus dihadirkan. Berbagai
penafsiran mulai muncul dengan argumentasi yang cukup meyakinkan. Pandangan
intersubjektivitas yang menganggap alam itu hidup. Kebersamaan dalam kehidupan
menimbulkan bentuk pertemanan dan penghargaan atas alam. Manusia ibarat
kelelawar yang merespon gelombang frekuensi untuk menangkap sesuatu di
sekitarnya. Ini perumpamaan yang logis dalam menghubungkan alam dan manusia.
Aktivis perempuan dan seniman, Dewi Candraningrum dalam bukunya
yang berjudul Ekofeminisme II:Narasi Iman, Mitos, Air dan Tanah memberikan pandangan baru. Terdapat
hubungan antara perempuan dan alam dari sisi harfiah dan simbolis. Harfiah
menekankan perempuan berada pada wilayah domestik dan alam efek yang
ditimbulkan budaya patriarki. Simbolis bertumpu pada pelabelan, mengacu pada penjadian
obyek untuk alam. Seperti yang kerap kita dengar misalnya, Ibu pertiwi.
Simbolisasi pada perempuan tersematkan dengan nama-nama yang berbau alam.
Kembali lagi, alam dan manusia memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebagai bentuk nyata kita lihat perempuan kendeng yang rela menabuh genderang
perang pada pemodal. Gugurnya bu Patmi, menorehkan luka dan tangis. Sosok yang
menjadi salah satu pahlawan dari sekian orang yang memperjuangkan kelestarian
alam.
Mitos-mitos kebudayaan hadir menyelimuti manusia. Kepercayaan
manusia yang beranggapan ada sesuatu yang melebihi manusia, sesuatu yang lebih
penting untuk bersandar. Ketidaknampakan kejadian yang berbau mistis menorehkan
prinsip kehidupan selalu berkaitan dengan alam. Sekilas mitos dianggap kuno di
zaman seperti ini, siapa sangka fungsi yang dirasakan begitu besar. Manusia
ketakukan dengan mitos yang dinampakkan, alampun terjaga dari kejailan manusia.
Penguatan mitos tidak berdampak ketika kekuasaan akan ekonomi menajamkan
taringnya. Semua sirna karena terlenanya kekuasaan.
Kehadiran Rasio manusia di belahan Eropa yang semakin canggih dalam
berpikir, menghasilkan bentuk-bentuk yang baru dalam bidang militer, penemuan
mesin uap, percetakan. Semuanya menghasilkan racun bagi perjalanan alam ini,
disamping sisi positif yang ditampilkan. Bidang militer sebagai awal mula
kolonialisme, sistem yang begitu keji dan menyiksa penduduk pemilik sumber
daya. Pengerukan sumber daya tak berkesudahan tidak dapat dielakan. Mesin uap
sebagai pencetus keilmuan yang mampu dipraktekkan. Ilmu bagaikan anak kecil
lugu yang selalu meminta-minta sesuatu, keinginan yang tidak dituruti membuat
anak kecil tersebut menangis. Begitu lugunya manusia dalam memandang ilmu.
Percetakan hadir sebagai pendukung keilmuan untuk dikembangkan dan disebarkan.
Kabar Akbar, warga dari Mamuju tengah, Sulawesi yang sedang memanen kelapa sawit tewas dimakan ular phiton. Ular phiton biasanya memangsa babi hutan dan
rusa. Logika kapitalisme menemukan momentum kejahatannya. Protret sistem
kapitalis dalam mengganggu ekosistem yang ada. Ekosistem yang berjalan sesuai
koridor mulai goyah. Tidak hanya itu saja, pengerukan hasil pertambangan
gila-gilaan juga terjadi. Sirkulasi salah satu mata rantai terputus, dampaknya
sudah jelas. Ketidakseimbangan ekosistem telah terbukti, solusi apakah yang
ditawarkan ? pura-pura tidak tau atau malah acuh.
Alam menjadi proyek besar untuk dieksploitasi bagi kaum kapitalisme,
bumi yang hijau tinggal menunggu kelapukannya. Semangat perluasan wilayah juga
digencarkan di masa Islam maupun Eropa. Titik perbedaan kenampakan terlihat
dalam keterhinggapan eropa terhadap kapitalisme, tidak bias di bantah.
Kecanggihan rasio membuat teknologi mempermudah pekerjaan manusia. Pengaruh
kapitalisme tak mungkin hilang bila bersanding modernitas yang ditampilkan.
Atau malah ini wacana, yang bagi Michel Foucault sesuatu yang memproduksi yang
lain (gagasan, konsep, atau efek). Kita tidak akan bisa keluar dari wacana yang
membentuk kapitalisme.
Hanya sedikit manusia yang memiliki kesadaran terhadap alam
semesta, salah satunya Mourice Bucke. Pandangannya mengenai kesadaran perlu
kita gunakan. Kesadaran terbagi menjadi 3 macam. Pertama, Kesadaran
sederhana yang sifatnya seperti hewaniyah. Kedua, Kesadaran diri yang
sehari-hari kita pakai. Sudah mampu memandang Subyek-obyek. Ketiga,
Kesadaran kosmik yang relasi subyek-obyek melebur. Manusia memandang alam
sebagai satu kesatuan yang hidup dan dianggap sebagai subjek. Kesadaran yang
ketiga inilah yang cocok untuk memandang alam. Kering kerontangnya alam
sekarang ini berimbas pada anak cucu kita. Dunia yang ada, sekarang seperti ini,
bagaimana nasib cucu kita nanti bisa menikmati.
Pada gilirannya, manusia tetap menjadi bagian dari dunia. Tetapi
apa itu yang ingin diharapkan. bila dunia dirusak tanpa memperhitungkan jangka
panjang. Setidaknya kesadaran mengkritik kerusakan alam yang disebabkan
kaum-kaum kapitalisme jalan pertama, walaupun kita juga termasuk di dalamnya.
Karena kritikan itu membedakan satu manusia dengan manusia lain. Kritikan ialah
awalan yang baru. Tentu kritikan tidak akan bekerja hanya dengan mengetahui
saja, tanpa memahami kapitalisme. [Cogito Imam]
0 komentar:
Posting Komentar