Kamis, 20 April 2017

BULETIN AL-IRFAN DEMA FUAD IAIN TULUNGAGUNG EDISI APRIL 2017




SALAM REDAKSI
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam JAMFUD...!!!
Akhir-akhir ini hoax menjadi isu populer bagi kalangan masyarakat luas. Kata yang menggambarkan kebohongan ini menjadi viral setelah media mengabarkan berbagai kabar yang tidak ada kebenarannya. Berbagai gerakan massa penolakan atas hoax kemudian juga membanjiri pemberitaan yang tak kalah populernya.
Masyarakat lebih suka mengkonsumsi hoax dari pada fakta, hal itu terlihat dari sejarah maupun dinamika sosial masyarakat sekarang. Orang yang terbuka untuk jujur lebih rentan mengalami diskriminasi dan pengucilan serta menuai banyak kritikan. Bersesuaian dengan tema buletin kali ini: “Menelanjangi HOAX Melalui Perspektif Akademik”  jika kita tengok dalam sejarah keilmuan, sepertihalnya ilmuwan dahulu sebut saja Karl Marx dan Niccolo Machiaveli, mereka dengan jujur mengungkap dinamika sosial pada masanya, namun mereka mendapat cemooh dan kritikan pedas dari orang sezamannya maupun sesudahnya bahkan ada yang menganggap bajingan.
Permasalahan hoax kemudian menjadi kegelisahan bersama bagi (kami) Mahasiswa FUAD. Buletin ini merupakan curahan atas kegelisahan yang kami alami. Kami mengharap dari kegelisahan ini mampu mewarnai khazanah akademik dalam dinamika akedemisi di lingkup IAIN Tulungagung.
Selanjutnya kami selaku Tim Redaksi memohon maaf bila ada konten Buletin Al-Irfan yang kurang memadai. Kritik dan saran kami harapkan demi pengembangan buletin ini maupun para penulisnya. Akhir kata pengantar ini kami ucapkan selamat membaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tulungagung, 27 Maret 2017
Pimpinan Redaksi

Merefleksi “Bencana Hoax Sebagai Ancaman Kutuhan Sosial Beragama”
Oleh: Seli Muna Ardiani (Mahasiswa AFI Semester 6)

“Hoax terbesar adalah milik penguasa” demikianlah moderator mengutip statement dari Rocky Gerung untuk menutup dilaog akbar siang itu, 23 Februari 2017. Kegiatan dialog ini diadakan atas kerjasama seluruh lembaga mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD), diantaranya Dewan Eksekutif Mahasiswa FUAD (DEMA-FUAD), Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir (HMJ-IAT), Himpunan Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi (HMJ-TP), Himpunan Mahasiswa Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam (HMJ-AFI), Himpunan Mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling Islam (HMJ-BKI), Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (HMJ-KPI) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (HMJ-BSA).
Kegiatan dialog ini diadakan sebagai bentuk refleksi mahasiswa atas wacana “Hoax” yang tengah hangat diperbincangkan. Sebagai pemantik perdiskusian, sengaja dihadirkan beberapa dosen FUAD dan perwakilan mahasiswa. Beberapa dosen tersebut yakni, Datu Jatmiko, M. A (Dosen Sosiologi dan Filsafat Agama),  Moh.  Aziz Hakim, M.H (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan), Ucik Ana fardila S. Si. M. Ikom  (Dosen Komuniasi Penyiaran Islam) serta perwakilan mahasiswa yakni Presiden Mahasiswa (DEMA-Institut) Miftahul Huda.
Sebagai pemantik pertama disampaikan oleh bapak Datu Jatmiko. Jika dilihat dengan kaca mata sosial, beliau mengibaratkan Hoax ini sebagai bentuk penyakit menular. Melalui apa penyakit ini bisa menular? Yakni melalui Informasi Teknologi. Di zaman yang serba canggih ini setiap individu mampu mengakses seluruh informasi dunia dimanapun dan kapanpun ia inginkan, dan Hoax turut hidup didalamnya.
Kasus Hoax merupakan bentuk Hyper Reality. Dimana realitas yang dilebih-lebihkan sengaja dimunculkan sebagai alat kontestasi sosial. Tujuannya sangat jelas, yakni persaingan lapisan-lapisan sosial itu sendiri. Tendensi kepentingan suku, ras, agama, politik, dan masih banyak lagi. Dengan rangkaian ini, memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat yakni akan adanya polarisasi. Masyarakat akan terkotak-kotak menurut kategorisasi sosial.
Kemudian bapak Aziz Hakim menyampaikan bahwasanya Hoax ini muncul karena kecenderungan masyarakat yang hanya ingin membaca kabar yang sesuai dengan keinginan mereka. Kita tentu harus mengingat bagaimana mainstreamitas adalah kondisi psikologi mayoritas masyarakat yang ada. Beliau juga secara tegas menyatakan bahwasanya media itu bersifat tidak netral, ada kepentingan pemilik media di dalamnya. Sebagai pengelola bagian Humas kampus, beliau mencontohkan: sepertihalnya branding majalah dan icon IAIN Tulungagung, selalu menampilkan model-model mahasiswa yang berpenampilan menarik, cantik, tampan, tinggi dan lain sebagainya.
Bahwasanya bentuk penyebaran informasi sesungguhnya telah diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU ITE: “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Lalu bagaimanakah cara menanggulangi Hoax? Menurut bapak Aziz Hakim kita harus memulainya dari diri sendiri. Mulailah mengoreksi terlebih dahulu berita dan informasi yang kita terima. Janganlah menyebarluaskan berita tersebut ketika kita belum tentu paham akar permasalahan dari berita tersebut. Menurtnya, Hoax adalah fase yang harus dilalui, kelak akan ada fase jenuh mengenai hal ini.
Bu Ucik yang memang memiliki konsentrasi di bidang komunikasi bercerita panjang mengenai sejarah kebohongan informasi yang telah terjadi di sepanjang kehidupan manusia. Beliau memulainya dengan cerita mengenai petunjukkan Teater di salah satu kota Eropa . Teater tersebut mengisahkan bahwasanya di kota tersebut tengah mengalami serangan Alien yang memorak-porandakan seluruh isi kota. Karena begitu bagus kemampuan acting para aktor seolah-olah kabar bahwasanya kota tersebut akan kedatangan alien adalah nyata adanya. Alhasil, seluruh kota tersebut keluar dan berhamburan ketakutan. Hal ini terjadi jauh sebelum abad kecanggihan ini muncul. Masih banyak lagi cerita-cerita kebohongan yang menipu jutaan manusia selama berabad-abad. Hal lainnya lagi ditengarahi adalah hasil konspirasi para elit global.
Di akhir penjelasananya bu Ucik memberikan beberapa cara dalam menyikapi derasnya arus informasi, dan ancaman Hoax: pertama, mempertimbangkan dari manakah sumber berita. Kedua, memperhatikan headline berita. Ketiga, memperhatikan siapakah penulis berita, dan yang terakhir yankni dengan melihat tanggal penulisan dan publikasi berita.
Karena hajat utama dalam kegiatan ini adalah refleksi dari mahasiswa mengenai “Hoax” tentu belum lengkap kiranya jika tidak mendengar perspektif dari mahasiswa, kali ini disampaikan oleh Presiden mahasiswa yakni Miftahul Huda. Ia menyampaikan bahwasanya problematika Hoax adalah problem “Nalar”, karena seluruh kabar yang tersebar melalui berita tentu adalah pengalaman nalar orang yang memberitakan atau penampil peristiwa. Dalam hal ini ia menegaskan bahwasanya Mahasiswa sebagai warga akademik berada pada garda terdepan dalam memerangi Hoax.
Salah satu upaya dalam memerangi Hoax, menurut mahasiswa PAI ini adalah dengan memiliki analisis kritis. Berbagai berita yang tersebar haruslah dianalisa terlebih dahulu dengan kaca mata kritis.
Di penghujung acara, berbagai refleksi mahasiswa lainnya turut mewarnai aula utama IAIN Tulungagung siang hari itu. Perlu dicatat kiranya komentar dari salah seorang Dosen Filsafat juga merupakan Direktur Institute for Javanesse Islam Research, yakni bapak Akhol Firdaus. Beliau secara keras melantangkan bahwasanya masyarakat kita pada prinsipnya adalah masyarakat yang suka kebohongan. Tentu statment menohok ini mengheningkan seluruh isi ruangan. Bagaimana tidak? Saat itu kita tengah asyik menggaungkan penolakan terhadap kebohongan yang seolah-olah pelakunya jauh dari diri kita, namun pernyataan tersebut balik menyerang dalam diri manusia itu sendiri.
Bapak Akhol juga menyampaikan bahwasanya sepertihalnya cerita panjang yang telah dijelaskan oleh bu Ucik, Hoax adalah fenomena gunung es.  Ia menggunung dalam struktur masyarakat yang gemar berbohong, tak menutup kemungkinan pada masyarakat akademik (kita). Terbukti bahwasanya orang-orang yang menyatakan kejujuran zamannya sengaja ditumpas dan tak pernah dikalkulasi. Analisis terhadap wacana secara kritis hanyalah salah satu cara kecil dalam menghadapi Hoax.
Berbagai perspektif riuh menyesaki ruangan siang itu. Semua orang hanya tertunduk dan tidak ada kesimpulan yang terlontar atau sengaja untuk tidak melakukan penyimpulan.  Hoax tentu saja bukanlah peristiwa yang hanya bisa kita tunggu titik jenuhnya. Hal ini menyiratkan betapa paniknya masyarakat di rezim ini, rezim menuju totaliter, demikianlah kata Rocky Gerung.

Hoax Wabah Penyakit Netizen
Oleh : Muhammad Fauzi Ridwan (Tasawuf Psikoterapi Semester 6)

Selamat datang di era modern, zaman praktis yang hanya dengan menggerakkan jemarinya dapat mudah mengelilingi dunia. Informasi dapat mudah tersebar secara luas dan cepat. Komunikasi bisa dilakukan dengan lancar, seakan jarak sudah tidak lagi menjadi penghambat. Pengetahuan dan temuan-temuan baru mudah didapatkan bersama simbah guru google. Bisnis jual beli dapat meningkat dengan pesat. Semua itu adalah keuntungan dari menggunakan alat elektronik kecil yang disebut smartphone.
Smartphone telah menjadi dunia baru bagi para penggunanya: netizen. Saat ini hampir setiap orang memakai smartphone. Dimanapun mata memandang, terlihat setiap orang dari beragam usia memainkan alat mungil ini.  Jika dilihat di akun media sosial (facebook, line, whatsapp, twitter, dsb) setiap menitnya pasti ada yang mengupdate statusnya. Aktivitas update status telah menjadi kebutuhan pokok agar tetap eksis setiap harinya. 
Media sosial banyak memberikan kemudahan dalam hal komunikasi, meski begitu, kita tidak bisa mengelak akan dampak buruk yang turut dihasilkan. Semua informasi sangat mudah di dapatkan melalui media sosial. Namun tidak semua informasi tersebut valid atau teruji kebenarannya. Banyak oknum-oknum yang jahil di media sosial. Mereka menyebarkan fitnah, suka mengadu domba, dan membuat resah dengan informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Oleh karena itu, sebagai pengguna media sosial harus mampu bersikap bijak.
Dalam epilog buku antologi yang saya tulis bersama komunitas ABM (Aku Bisa Menulis) berjudul Medsosku Sayang Medsosku Malang, Didi Junaedi (dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon) mengatakan bahwa “Jika setiap netizen, warga dunia maya menjaga tata krama dan sopan santun dalam bermedia sosial, penulis yakin tidak aka nada berita-berita hoax yang menyebar demikian cepat layaknya wabah penyakit.” Berita-berita hoax akan berdampak buruk, menimbulkan keresahan, kekhawatiran dan dapat merusak moralitas. Sebagai warga dunia maya hendaknya bersikap sopan santun dan menjaga tatakramanya. Dengan begitu penyakit yang dapat merusak moral dapat diantisipasi.
Hoax adalah wabah penyakit yang merugikan. Maka dari itu sebagai netizen yang baik hendaknya selalu menanamkan sifat hati-hati dan waspada terhadap informasi yang diterima. Tidak boleh serta merta percaya dan mudah ikut-ikutan menyebarkan wabah penyakit tersebut. Netizen harus mampu mengenali informasi yang didapatkannya, apakah itu hoax wabah penyakit atau informasi yang benar-benar bermanfaat.
Berikut ini beberapa hal yang harus dipastikan ketika membaca berita atau informasi di media sosial: Pertama periksa dahulu sumber informasi tersebut. Mengenali situs lebih dalam, memeriksa misi dan siapa pengelola informasinya. Kedua baca informasi secara keseluruhan, jangan gampang terpaku pada judul yang bombastis. Ketiga cari tahu siapa penulisnya, apakah bisa dipercaya? Keempat cari tahu apakah ada sumber pendukung berita. Kelima periksa tanggal kejadiannya. Keenam cari tahu apakah informasi tersebut berupa lelucon atau sindiran. Ketujuh menghindari prasangka buruk. Netizen harus mampu membedakan mana data fakta dan mana data analisis. Dan terakhir yang kedelapan bertanya kepada pakarnya. Cara-cara mengenali informasi diatas saya kutip dari IFLA (Internasional Federation of Library Associations and Institutions) yang diterjemahkan oleh isipil.org. Semoga dengan menerapkan cara mengenali informasi diatas, kita bisa terhindar dari penyakit hoax dan mampu menjaga diri sebagai netizen yang baik dan santun di dunia maya.   

Hoax sebagai Media Waspada
oleh: Woko Utoro (Mahasiswa Tasawuf Psikoterapi Semester 4)
Dewasa ini, banyak sekali fenomena yang mewarnai kehidupan manusia. Dengan semakin canggihnya teknologi dan menyebarnya jaringan informasi, Teknologi menjadi diperlukan untuk memudahkan akses informasi dan komunikasi. Ambil contoh seorang tukang becak atau petani, mereka mendapat kemudahan untuk mengakses berita; terkait bibit apa saja yang unggul? Pupuk seperti apa yang sekarang lebih higienis dan tidak merusak alam atau ramah lingkungan?. Berita yang ada di belahan dunia sekalipun bisa di saksikan lewat layar kaca atau dapat diakses melalui smartphone. Seiring dengan kecanggihan itu manusia terkadang di buat terlena akan banyaknya informasi. Seseorang menjadi tidak jeli dalam memandang suatu fenomena, karena kurang adanya filter dan errornya selektifitas dalam batinnya. Kekurangan manusia dalam permasalahan satu ini di sebabkan karena kurangnya pengetahuan. Maka dari itu ilmu pengetahuan sangatlah penting sebagai nilai fundamen atas apa yang ia dapatkan. Ketika seseorang sudah di bekali manajeman ilmu yang memadai maka dapat di pastikan ia kan memiliki pisau analisis yang tajam dalam menghadapi persoalan.
Hoax, nah ketika pembaca sekalian disodorkan, apa sih hoax itu? Pasti akan banyak pendapat dari masing-masing individu. Saya akan sedikit memberi wawasan apa itu hoax?,  Hoax diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni “hocus” dari mantra “hocus pocus” frasa yang kerap di suarakan oleh pesulap serupa dengan”sim salabim”. Dalam bahasa lain hoax berarti dusta, berita palsu atau sebuah berita yang entah darimana sumbernya. Antara News.com mewartakan, menurut Alexander Boese dalam “Museum of Hoaxes” mencatat hoax pertama yang di publikasikan adalah almanak (penanggalan) palsu yang di buat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift 1709. Saat itu ia meramalkan kematian asrolog John Partridge. Agar meyakinkan, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematianya. Swift mengarang informasi itu untuk membuat malu Partridge di mata umum. Hingga Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga 6 tahun setelah hoax beredar.
Dalam Buku Sirah Nabawiyyah juga di jelaskan bahwa pada zaman nabi terdapat hoax atau berita bohong. Jika diruntut pada kala itu, berita bohong bermula dari kaum kafir yang terus-menerus mencari kelemahan Islam. Berita bohong yang terkenal yaitu peristiwa Haditsul Ifki yaitu, fitnah terhadap Aisyah binti Abu Bakar yang dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Mu’atthal sepulang dari perang Bani Mustahliq. Padahal hal itu tidak terjadi dan tidak di benarkan, berita hoax itu disiarkan oleh Abdullah bin Ubay bin salul. Selang beberapa lama dari peristiwa itu turunlah firman Allah SWT “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu , bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari mereka mendapat balsan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar…..” sampai dengan ayat 21….(QS. An-Nur:11-21).
Dari dua contoh hoax di atas, seyogyanya sebagai akademisi harus pandai-pandai memilah dan memilih informasi kita konsumsi. Khususnya bagi pembaca sekalian yang suka menshare suatu informasi. mulai dari sekarang bersegeralah untuk berfikir matang-matang, berfikir secara kritis terkait informasi yang akan dibagikan kepada khalayak, apakah bersumber dari alamat yang valid atau bahkan kebohongan yang dapat menyulut perpecahan.
Selain itu, dalam Islam ada istilah tabayyun, yaitu proses penggalian informasi sampai kepada pusat kebenaranya. Dari pada kita sibuk membuat hoax lebih baik membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, agar orang lain pun bersemangat menebar kebaikan. Mewaspadai hal-hal yang belum jelas asal-usulnya adalah sikap berfikir akademis yang berinsting mencari dan mencari bahkan sampai ke akar-akarnya. Perlu diingat bahwa pemikiran akademis harus lebih maju dengan mereka yang tidak mendapat asupan ilmu pengetahuan lanjutan di bangku perkuliahan.
Waspadalah terhadap hoax, maka dari itu, mari kita perkaya diri kita dengan ilmu pengetahuan dan daya kritis yang tajam agar hoax segera hangus dari muka bumi.
#Salam JAMFUD...


Hoax dan Upaya Mencerdaskan Masyarakat
Oleh: M. Tsalis Mustofa (Mahasiswa TP Semester 6)

Menghapus hoax adalah kegiatan yang tidak berguna saat ini, sebab ada hal yang lebih penting daripada menghapuskannya. Yaitu kegiatan mencerdaskan masyarakat luas, membuat masyarakat kritis terhadap isu dan wacana yang beredar pada era internet atau media sosial, yang saat ini lebih disukai masyarakat luas.
Fenomena hoax pada saat ini begitu mendramatisir hati pembacanya, aksi tipu-tipu, memfitnah, propoganda dan saling adu domba adalah kegiatan yang biasa dari hoax. Hoax ini mudah sekali menyebar karena biasanya cenderung lebih greget, bombastis dan disukai masyarakat umumnya. Hoax sendiri sudah menyebar dari berbagai hal dimulai dari berita, pembicaraan, tulisan, bahasa dan lain-lain.
Hoax sebuah informasi tak bermakna, lebih cenderung membesar-besarkan, tidak memiliki esensi yang akurat. Karena kebanyakan dari hoax adalah sebuah tempat untuk membohongi orang. Maka dari itu, kemanfaatannya tidak ada sama sekali. Begitu juga dengan pemproduksiaannya yang sangat mudah sekali sebab tanpa adanya check dan rechek.
Ada beberapa fakta besar dalam hoax saat ini. Seperti adanya adu domba, fitnah, saling metuding, tipu menipu dan bersifat negative. Hoax pada saat ini seringkali dikonsumsi masyarakat luas sehingga banyak yang tertipu oleh hoax. Salah satu contohnya, di harian Jawapos.com yang dilansir tanggal 13 Januari 2017 memberitakan adanya kebakaran disalah satu pom disekitar daerah saya.
Berita itu menjelaskan, satuan polisi pamong praja (Satpol PP) menginformasikan kepada pemadam kebakaran setempat kalau adanya kebakaran. setelah pemadam kebakaran datang ketempat tersebut ternyata mereka mendapati hoax, di sana ternyata aman dan tidak ada kebakaran. Ini juga tidak kalah dari masyarakat umumnya terlihat di beberapa media sosial (medsos) banyak sekali yang membagikan kabar hoax tersebut.
Melihat dari contoh tersebut, saya dapat berasumsi masih banyak dari kawasan masyarakat belum meng-kroschek secara jelas dan teliti untuk masalah hoax. Bahkan, yang saya herankan dari pihak pemerintah masih tertipu dalam contoh tersebut. Seharusnya pemerintah adalah representasi akurat dari sosok yang dibanggakan oleh masyarakat dan terkenal dapat menganalisa kabar akurat sebelum mengabarkannya kepada pemadam kebakaran.
Memang hoax itu dahsyat sekali, dapat menghipnotis seseorang dalam sekejap apalagi ada budi daya langsung telan dalam mengosumsi hoax. Jangan-jangan pihak pemerintah masih ada budi daya langsung telan tersebut? Sehingga menimbulkan kepanikan dalam tingkah laku, dan ingin berbuat layaknya superhero tanpa adanya check dan rechek terlebih dahulu.  
Memang perlu dicermati tentang hoax ini. Dengan cara membumihanguskan dan menghilangkannya dari peradaban kemanusiaan. Namun saya rasa untuk menghapus hoax itu sulit sekali. Sebab kita telah sepakat dengan payung hukum negara, bawasannya kita bebas berpendapat, berbicara dan berekpresi. Ini sudah termaktub dalam UUD 1945 yaitu pasal 28E ayat (2) dan (3), pasal 2F dan pasal 2I.
Selain dari peraturan konstitusional, bias juga ditemui di Hak Asasi Manusia (HAM) yang di retifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 oleh Indonesia. Ini membuktikan kita sudah mempunyai acuan moral tertentu bersama negara-negara yang sudah mengesahkan HAM. Jadi untuk menghapus hoax saya kira pekerjaan yang berat, apalagi menyalahkan atau menghukum pembuat hoax itu lebih sulit lagi. Karena, mereka (pembuat hoax) juga punya hak untuk membuat informasi tersebut.
Membuat informasi memanglah salah satu hak untuk kita, tetapi patut disayangkan kenapa mereka membuat kabar hoax. Di sini banyak asumsi dalam benak saya sendiri, pasti ada kecenderungan mengapa mereka lebih memilih berita hoax, menyebarluaskan dengan begitu saja. Bila dicermati lebih lanjut, saya rasa memang ada hal hal yang sedang di incar bagi pembuat hoax, seperti komersial, kekuasaan, dan ideologi-ideologi tertentu pastinya.
Mungkin ada beberapa cara untuk mengatasi ini saya kira, namun bukan menghapus, memusnahkan, menyalahkan dan menghukum pembuat hoax. Melainkan dengan belajar, agar otak kita (pekonsumsi kabar) tidak tumpul begitu saja terhadap kabar yang berseliwungan disekitar kita. Selain itu, kita bisa menelaah secara kritis dalam memilih dan memilah sesuatu, agar tidak terjadi kesalahpahaman sosial.
Dengan begitu kita (masyarakat) dapat mengurangi hoax yang tak bernilai apapun. Setidaknya kita dapat mengantisipasi untuk tidak ikut-ikutan menelan mentah-mentah apa yang telah kita konsumsi dalam kurun waktu yang tak terhingga. Dan cara selanjutnya check dan rechek terhadap kabar atau permasalahan yang terjadi.
Saya kira beberapa cara tersebut dapat digunakan oleh kita mengingat era digital saat ini sudah menjadi hal viral. Begitu juga dengan pengguna gadget dan pemakai media sosial yang sudah merambah dari berbagai Kalangan umur seperti anak-anak, remaja, dewasa dan tua. 

Hoax
Oleh: Farida Haryuni (Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam Semester 4)

Hoax…
Negriku bernyanyi keras diatas coretan tinta
Mengiang nada yang berbeda dan tak tertata
Antara yang benar dan terlihat benar kinipun sama
Antara jelas dan samar memburam mata
Antara sadar dan gila menjadi biasa saja
Semua terasa sama dengan kenyataan yang berbeda

Hoax….
Warnamu menjadi simbol tawa dan derita
Hadirmu menjadi penyedap akan wacana
Karenamu,
Berbagai virus tumbuh dalam kasus
Harummu menebar wewangian anyir
Memikat dan menyesatkan manusia yang tak tau apa-apa

Hoax…
Sadarkanlah para penerus bangsa
Biarkan mereka belajar menerimamu tanpa Cuma-Cuma
Biarkan mereka bisa meraba antara yang samar dan yang benar
Biarkan mereka mulai berfikir kritis bukan rasis
Biarkan mereka terbiasa dengan kebijaksanaan bukan keegoisan
Biarkan mereka membuka mata tuk melihat jendela dunia
Dan biarkan mereka meninggalkanmu walau tak bisa membuangmu.


0 komentar:

Posting Komentar