Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Salam JAMFUD...!!!
Akhir-akhir ini
hoax menjadi isu populer bagi kalangan masyarakat luas. Kata yang menggambarkan kebohongan ini menjadi viral setelah media
mengabarkan berbagai kabar yang tidak ada kebenarannya. Berbagai gerakan massa penolakan atas hoax kemudian juga
membanjiri pemberitaan yang tak kalah populernya.
Masyarakat lebih suka mengkonsumsi hoax dari pada fakta,
hal itu terlihat dari sejarah maupun dinamika sosial masyarakat sekarang. Orang yang terbuka untuk jujur lebih rentan mengalami diskriminasi
dan pengucilan serta menuai banyak kritikan. Bersesuaian dengan tema buletin kali ini: “Menelanjangi
HOAX Melalui Perspektif Akademik” jika
kita tengok dalam sejarah keilmuan, sepertihalnya
ilmuwan dahulu sebut saja Karl Marx dan Niccolo Machiaveli, mereka
dengan jujur mengungkap dinamika sosial pada masanya, namun mereka
mendapat cemooh dan kritikan pedas dari orang sezamannya maupun
sesudahnya bahkan ada yang menganggap bajingan.
Permasalahan hoax kemudian menjadi
kegelisahan bersama bagi (kami) Mahasiswa FUAD. Buletin ini
merupakan curahan atas kegelisahan yang kami alami. Kami
mengharap dari kegelisahan ini mampu mewarnai khazanah akademik
dalam dinamika akedemisi di lingkup IAIN Tulungagung.
Selanjutnya kami selaku Tim Redaksi memohon maaf bila ada konten Buletin Al-Irfan yang kurang memadai. Kritik dan saran kami
harapkan demi pengembangan buletin ini maupun para penulisnya. Akhir kata
pengantar ini kami ucapkan selamat membaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tulungagung, 27 Maret 2017
Pimpinan Redaksi
Merefleksi
“Bencana Hoax Sebagai Ancaman Kutuhan Sosial Beragama”
Oleh: Seli Muna
Ardiani (Mahasiswa AFI Semester 6)
“Hoax terbesar
adalah milik penguasa” demikianlah moderator mengutip statement dari Rocky
Gerung untuk menutup dilaog akbar siang itu, 23 Februari 2017. Kegiatan dialog
ini diadakan atas kerjasama seluruh lembaga mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab
dan Dakwah (FUAD), diantaranya Dewan Eksekutif Mahasiswa FUAD (DEMA-FUAD),
Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir (HMJ-IAT), Himpunan
Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi (HMJ-TP), Himpunan Mahasiswa Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam (HMJ-AFI), Himpunan Mahasiswa Jurusan Bimbingan
Konseling Islam (HMJ-BKI), Himpunan Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran
Islam (HMJ-KPI) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
(HMJ-BSA).
Kegiatan dialog
ini diadakan sebagai bentuk refleksi mahasiswa atas wacana “Hoax” yang tengah
hangat diperbincangkan. Sebagai pemantik perdiskusian, sengaja dihadirkan
beberapa dosen FUAD dan perwakilan mahasiswa. Beberapa dosen tersebut yakni,
Datu Jatmiko, M. A (Dosen Sosiologi dan Filsafat Agama), Moh.
Aziz Hakim, M.H (Dosen Pendidikan Kewarganegaraan), Ucik Ana fardila S.
Si. M. Ikom (Dosen Komuniasi Penyiaran
Islam) serta perwakilan mahasiswa yakni Presiden Mahasiswa (DEMA-Institut)
Miftahul Huda.
Sebagai
pemantik pertama disampaikan oleh bapak Datu Jatmiko. Jika dilihat dengan kaca
mata sosial, beliau mengibaratkan Hoax ini sebagai bentuk penyakit menular.
Melalui apa penyakit ini bisa menular? Yakni melalui Informasi Teknologi. Di
zaman yang serba canggih ini setiap individu mampu mengakses seluruh informasi
dunia dimanapun dan kapanpun ia inginkan, dan Hoax turut hidup didalamnya.
Kasus Hoax
merupakan bentuk Hyper Reality. Dimana realitas yang dilebih-lebihkan
sengaja dimunculkan sebagai alat kontestasi sosial. Tujuannya sangat jelas,
yakni persaingan lapisan-lapisan sosial itu sendiri. Tendensi kepentingan suku,
ras, agama, politik, dan masih banyak lagi. Dengan rangkaian ini, memberikan
dampak yang buruk bagi masyarakat yakni akan adanya polarisasi. Masyarakat akan
terkotak-kotak menurut kategorisasi sosial.
Kemudian bapak
Aziz Hakim menyampaikan bahwasanya Hoax ini muncul karena kecenderungan
masyarakat yang hanya ingin membaca kabar yang sesuai dengan keinginan mereka.
Kita tentu harus mengingat bagaimana mainstreamitas adalah kondisi
psikologi mayoritas masyarakat yang ada. Beliau juga secara tegas menyatakan
bahwasanya media itu bersifat tidak netral, ada kepentingan pemilik media di dalamnya.
Sebagai pengelola bagian Humas kampus, beliau mencontohkan: sepertihalnya branding
majalah dan icon IAIN Tulungagung, selalu menampilkan model-model
mahasiswa yang berpenampilan menarik, cantik, tampan, tinggi dan lain
sebagainya.
Bahwasanya
bentuk penyebaran informasi sesungguhnya telah diatur dalam pasal 28 ayat 1 UU
ITE: “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Lalu bagaimanakah
cara menanggulangi Hoax? Menurut bapak Aziz Hakim kita harus memulainya dari
diri sendiri. Mulailah mengoreksi terlebih dahulu berita dan informasi yang
kita terima. Janganlah menyebarluaskan berita tersebut ketika kita belum tentu
paham akar permasalahan dari berita tersebut. Menurtnya, Hoax adalah fase yang
harus dilalui, kelak akan ada fase jenuh mengenai hal ini.
Bu Ucik yang
memang memiliki konsentrasi di bidang komunikasi bercerita panjang mengenai
sejarah kebohongan informasi yang telah terjadi di sepanjang kehidupan manusia.
Beliau memulainya dengan cerita mengenai petunjukkan Teater di salah satu kota
Eropa . Teater tersebut mengisahkan bahwasanya di kota tersebut tengah
mengalami serangan Alien yang memorak-porandakan seluruh isi kota. Karena
begitu bagus kemampuan acting para aktor seolah-olah kabar bahwasanya
kota tersebut akan kedatangan alien adalah nyata adanya. Alhasil, seluruh kota
tersebut keluar dan berhamburan ketakutan. Hal ini terjadi jauh sebelum abad
kecanggihan ini muncul. Masih banyak lagi cerita-cerita kebohongan yang menipu
jutaan manusia selama berabad-abad. Hal lainnya lagi ditengarahi adalah hasil
konspirasi para elit global.
Di akhir
penjelasananya bu Ucik memberikan beberapa cara dalam menyikapi derasnya arus
informasi, dan ancaman Hoax: pertama, mempertimbangkan dari manakah
sumber berita. Kedua, memperhatikan headline berita. Ketiga, memperhatikan
siapakah penulis berita, dan yang terakhir yankni dengan melihat tanggal penulisan
dan publikasi berita.
Karena hajat
utama dalam kegiatan ini adalah refleksi dari mahasiswa mengenai “Hoax” tentu
belum lengkap kiranya jika tidak mendengar perspektif dari mahasiswa, kali ini
disampaikan oleh Presiden mahasiswa yakni Miftahul Huda. Ia menyampaikan
bahwasanya problematika Hoax adalah problem “Nalar”, karena seluruh kabar yang
tersebar melalui berita tentu adalah pengalaman nalar orang yang memberitakan
atau penampil peristiwa. Dalam hal ini ia menegaskan bahwasanya Mahasiswa
sebagai warga akademik berada pada garda terdepan dalam memerangi Hoax.
Salah satu upaya
dalam memerangi Hoax, menurut mahasiswa PAI ini adalah dengan memiliki analisis
kritis. Berbagai berita yang tersebar haruslah dianalisa terlebih dahulu dengan
kaca mata kritis.
Di penghujung
acara, berbagai refleksi mahasiswa lainnya turut mewarnai aula utama IAIN Tulungagung
siang hari itu. Perlu dicatat kiranya komentar dari salah seorang Dosen
Filsafat juga merupakan Direktur Institute for Javanesse Islam Research, yakni
bapak Akhol Firdaus. Beliau secara keras melantangkan bahwasanya masyarakat
kita pada prinsipnya adalah masyarakat yang suka kebohongan. Tentu statment
menohok ini mengheningkan seluruh isi ruangan. Bagaimana tidak? Saat itu kita
tengah asyik menggaungkan penolakan terhadap kebohongan yang seolah-olah
pelakunya jauh dari diri kita, namun pernyataan tersebut balik menyerang dalam
diri manusia itu sendiri.
Bapak Akhol
juga menyampaikan bahwasanya sepertihalnya cerita panjang yang telah dijelaskan
oleh bu Ucik, Hoax adalah fenomena gunung es.
Ia menggunung dalam struktur masyarakat yang gemar berbohong, tak
menutup kemungkinan pada masyarakat akademik (kita). Terbukti bahwasanya
orang-orang yang menyatakan kejujuran zamannya sengaja ditumpas dan tak pernah
dikalkulasi. Analisis terhadap wacana secara kritis hanyalah salah satu cara
kecil dalam menghadapi Hoax.
Berbagai
perspektif riuh menyesaki ruangan siang itu. Semua orang hanya tertunduk dan
tidak ada kesimpulan yang terlontar atau sengaja untuk tidak melakukan
penyimpulan. Hoax tentu saja bukanlah
peristiwa yang hanya bisa kita tunggu titik jenuhnya. Hal ini menyiratkan betapa
paniknya masyarakat di rezim ini, rezim menuju totaliter,
demikianlah kata Rocky Gerung.
Hoax Wabah Penyakit Netizen
Oleh : Muhammad
Fauzi Ridwan (Tasawuf Psikoterapi Semester 6)
Selamat datang
di era modern, zaman praktis yang hanya dengan menggerakkan jemarinya dapat
mudah mengelilingi dunia. Informasi dapat mudah tersebar secara luas dan cepat.
Komunikasi bisa dilakukan dengan lancar, seakan jarak sudah tidak lagi menjadi
penghambat. Pengetahuan dan temuan-temuan baru mudah didapatkan bersama simbah
guru google. Bisnis jual beli dapat meningkat dengan pesat. Semua itu
adalah keuntungan dari menggunakan alat elektronik kecil yang disebut
smartphone.
Smartphone
telah menjadi dunia baru bagi para penggunanya: netizen. Saat ini hampir setiap orang memakai smartphone. Dimanapun mata
memandang, terlihat setiap orang dari beragam usia memainkan alat mungil ini. Jika dilihat di akun media sosial (facebook, line, whatsapp, twitter, dsb) setiap menitnya pasti ada yang mengupdate statusnya. Aktivitas
update status telah menjadi kebutuhan pokok agar tetap eksis setiap
harinya.
Media sosial banyak
memberikan kemudahan dalam hal komunikasi, meski begitu, kita tidak bisa mengelak akan dampak buruk yang turut dihasilkan. Semua
informasi sangat mudah di dapatkan melalui media sosial. Namun
tidak semua informasi tersebut valid atau teruji kebenarannya. Banyak oknum-oknum
yang jahil di media sosial. Mereka menyebarkan fitnah, suka mengadu domba, dan membuat
resah dengan informasi-informasi yang belum tentu kebenarannya. Oleh karena
itu, sebagai pengguna media sosial harus mampu bersikap bijak.
Dalam epilog
buku antologi yang saya tulis bersama komunitas ABM (Aku Bisa Menulis) berjudul
Medsosku Sayang Medsosku Malang, Didi Junaedi (dosen IAIN Syekh Nurjati
Cirebon) mengatakan bahwa “Jika setiap
netizen, warga dunia maya menjaga tata krama dan sopan santun dalam bermedia sosial,
penulis yakin tidak aka nada berita-berita hoax yang menyebar demikian cepat
layaknya wabah penyakit.” Berita-berita hoax akan berdampak buruk,
menimbulkan keresahan, kekhawatiran dan dapat merusak moralitas. Sebagai warga dunia
maya hendaknya bersikap sopan santun dan menjaga tatakramanya. Dengan begitu
penyakit yang dapat merusak moral dapat diantisipasi.
Hoax adalah
wabah penyakit yang merugikan. Maka dari itu sebagai netizen yang baik
hendaknya selalu menanamkan sifat hati-hati dan waspada terhadap informasi yang
diterima. Tidak boleh serta merta percaya dan mudah ikut-ikutan menyebarkan
wabah penyakit tersebut. Netizen harus mampu mengenali informasi yang
didapatkannya, apakah itu hoax wabah penyakit atau informasi yang benar-benar
bermanfaat.
Berikut ini beberapa hal yang harus dipastikan ketika
membaca berita atau informasi di media sosial: Pertama periksa dahulu sumber informasi
tersebut. Mengenali situs lebih dalam, memeriksa misi dan siapa pengelola
informasinya. Kedua baca informasi secara keseluruhan, jangan gampang
terpaku pada judul yang bombastis. Ketiga cari tahu siapa penulisnya,
apakah bisa dipercaya? Keempat cari tahu apakah ada sumber pendukung
berita. Kelima periksa tanggal kejadiannya. Keenam cari tahu
apakah informasi tersebut berupa lelucon atau sindiran. Ketujuh
menghindari prasangka buruk. Netizen harus mampu membedakan mana data fakta dan
mana data analisis. Dan terakhir yang kedelapan bertanya kepada
pakarnya. Cara-cara mengenali informasi diatas saya kutip dari IFLA (Internasional Federation of Library
Associations and Institutions) yang diterjemahkan oleh isipil.org. Semoga
dengan menerapkan cara mengenali informasi diatas, kita bisa terhindar dari
penyakit hoax dan mampu menjaga diri sebagai netizen yang baik dan santun di
dunia maya.
Hoax sebagai
Media Waspada
oleh: Woko
Utoro (Mahasiswa Tasawuf
Psikoterapi Semester 4)
Dewasa ini, banyak
sekali fenomena yang mewarnai kehidupan manusia. Dengan semakin canggihnya
teknologi dan menyebarnya jaringan informasi, Teknologi menjadi diperlukan untuk
memudahkan akses informasi dan komunikasi. Ambil contoh seorang tukang becak atau
petani, mereka mendapat kemudahan untuk mengakses berita; terkait bibit apa
saja yang unggul? Pupuk seperti apa yang sekarang lebih higienis dan tidak
merusak alam atau ramah lingkungan?. Berita yang ada di belahan dunia sekalipun
bisa di saksikan lewat layar kaca atau dapat diakses melalui smartphone.
Seiring dengan kecanggihan itu manusia terkadang di buat terlena akan banyaknya
informasi. Seseorang menjadi tidak jeli dalam memandang suatu fenomena, karena kurang
adanya filter dan errornya selektifitas dalam batinnya. Kekurangan manusia
dalam permasalahan satu ini di sebabkan karena kurangnya pengetahuan. Maka dari
itu ilmu pengetahuan sangatlah penting sebagai nilai fundamen atas apa yang ia
dapatkan. Ketika seseorang sudah di bekali manajeman ilmu yang memadai maka
dapat di pastikan ia kan memiliki pisau analisis yang tajam dalam menghadapi persoalan.
“Hoax”, nah ketika
pembaca sekalian disodorkan, apa sih hoax itu? Pasti akan banyak
pendapat dari masing-masing individu. Saya akan sedikit memberi wawasan apa itu
hoax?, Hoax diyakini ada sejak ratusan
tahun sebelumnya, yakni “hocus” dari mantra “hocus pocus” frasa
yang kerap di suarakan oleh pesulap serupa dengan”sim salabim”. Dalam
bahasa lain hoax berarti dusta, berita palsu atau sebuah berita yang entah
darimana sumbernya. Antara News.com mewartakan,
menurut Alexander Boese dalam “Museum of
Hoaxes” mencatat hoax pertama yang di publikasikan adalah almanak (penanggalan) palsu yang di buat
oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift 1709. Saat itu ia meramalkan
kematian asrolog John Partridge. Agar meyakinkan, ia bahkan membuat obituari
palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematianya. Swift
mengarang informasi itu untuk membuat malu Partridge di
mata umum. Hingga Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga 6 tahun setelah hoax
beredar.
Dalam Buku Sirah
Nabawiyyah juga di jelaskan bahwa pada zaman nabi terdapat hoax atau berita bohong.
Jika diruntut pada kala itu, berita bohong bermula dari kaum kafir yang terus-menerus
mencari kelemahan Islam. Berita bohong yang terkenal yaitu peristiwa Haditsul
Ifki yaitu, fitnah terhadap Aisyah binti Abu Bakar yang dituduh
berselingkuh dengan Shafwan bin Mu’atthal sepulang dari perang Bani Mustahliq.
Padahal hal itu tidak terjadi dan tidak di benarkan, berita hoax itu disiarkan
oleh Abdullah bin Ubay bin salul. Selang beberapa lama dari peristiwa itu
turunlah firman Allah SWT “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita
bohong itu buruk bagi kamu , bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang dari
mereka mendapat balsan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa diantara mereka
yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya
azab yang besar…..” sampai dengan ayat 21….(QS. An-Nur:11-21).
Dari dua contoh
hoax di atas, seyogyanya sebagai akademisi harus pandai-pandai memilah dan
memilih informasi kita konsumsi. Khususnya bagi pembaca sekalian yang suka menshare
suatu informasi. mulai dari sekarang bersegeralah untuk berfikir matang-matang,
berfikir secara kritis terkait informasi yang akan dibagikan kepada khalayak,
apakah bersumber dari alamat yang valid atau bahkan kebohongan yang dapat
menyulut perpecahan.
Selain itu, dalam
Islam ada istilah tabayyun, yaitu proses penggalian informasi sampai
kepada pusat kebenaranya. Dari pada kita sibuk membuat hoax lebih baik membuat sesuatu
yang bermanfaat bagi orang banyak, agar orang lain pun bersemangat menebar kebaikan. Mewaspadai hal-hal yang belum jelas asal-usulnya adalah
sikap berfikir akademis yang berinsting mencari dan mencari bahkan sampai
ke akar-akarnya. Perlu diingat bahwa pemikiran akademis harus lebih maju dengan
mereka yang tidak mendapat asupan ilmu pengetahuan lanjutan di bangku
perkuliahan.
Waspadalah
terhadap hoax, maka dari itu, mari kita perkaya diri kita dengan ilmu pengetahuan dan daya
kritis yang tajam agar hoax segera hangus dari muka bumi.
#Salam JAMFUD...
Hoax dan Upaya Mencerdaskan
Masyarakat
Oleh: M. Tsalis Mustofa (Mahasiswa TP Semester 6)
Menghapus
hoax adalah kegiatan yang tidak berguna saat ini, sebab ada hal yang lebih
penting daripada menghapuskannya. Yaitu kegiatan mencerdaskan masyarakat luas, membuat
masyarakat kritis terhadap isu dan wacana yang beredar pada era internet atau
media sosial, yang saat ini lebih disukai masyarakat luas.
Fenomena
hoax pada saat ini begitu mendramatisir hati pembacanya, aksi tipu-tipu,
memfitnah, propoganda dan saling adu domba adalah kegiatan yang biasa dari
hoax. Hoax ini mudah sekali menyebar karena biasanya cenderung lebih greget,
bombastis dan disukai masyarakat umumnya. Hoax sendiri sudah menyebar dari
berbagai hal dimulai dari berita, pembicaraan, tulisan, bahasa dan lain-lain.
Hoax
sebuah informasi tak bermakna, lebih cenderung membesar-besarkan, tidak
memiliki esensi yang akurat. Karena kebanyakan dari hoax adalah sebuah tempat
untuk membohongi orang. Maka dari itu, kemanfaatannya tidak ada sama sekali.
Begitu juga dengan pemproduksiaannya yang sangat mudah sekali sebab tanpa
adanya check dan rechek.
Ada
beberapa fakta besar dalam hoax saat ini. Seperti adanya adu domba, fitnah,
saling metuding, tipu menipu dan bersifat negative. Hoax pada saat ini
seringkali dikonsumsi masyarakat luas sehingga banyak yang tertipu oleh hoax.
Salah satu contohnya, di harian Jawapos.com yang dilansir tanggal 13 Januari
2017 memberitakan adanya kebakaran disalah satu pom disekitar daerah saya.
Berita
itu menjelaskan, satuan polisi pamong praja (Satpol PP) menginformasikan kepada
pemadam kebakaran setempat kalau adanya kebakaran. setelah pemadam kebakaran
datang ketempat tersebut ternyata mereka mendapati hoax, di sana ternyata aman
dan tidak ada kebakaran. Ini juga tidak kalah dari masyarakat umumnya terlihat
di beberapa media sosial (medsos) banyak sekali yang membagikan kabar hoax tersebut.
Melihat
dari contoh tersebut, saya dapat berasumsi masih banyak dari kawasan masyarakat
belum meng-kroschek secara jelas dan
teliti untuk masalah hoax. Bahkan,
yang saya herankan dari pihak pemerintah masih tertipu dalam contoh tersebut.
Seharusnya pemerintah adalah representasi akurat dari sosok yang dibanggakan
oleh masyarakat dan terkenal dapat menganalisa kabar akurat sebelum
mengabarkannya kepada pemadam kebakaran.
Memang
hoax itu dahsyat sekali, dapat menghipnotis seseorang dalam sekejap apalagi ada
budi daya langsung telan dalam mengosumsi hoax. Jangan-jangan pihak pemerintah
masih ada budi daya langsung telan tersebut? Sehingga menimbulkan kepanikan
dalam tingkah laku, dan ingin berbuat layaknya superhero tanpa adanya check dan rechek terlebih
dahulu.
Memang
perlu dicermati tentang hoax ini. Dengan cara membumihanguskan dan
menghilangkannya dari peradaban kemanusiaan. Namun saya rasa untuk menghapus
hoax itu sulit sekali. Sebab kita telah sepakat dengan payung hukum negara,
bawasannya kita bebas berpendapat, berbicara dan berekpresi. Ini sudah
termaktub dalam UUD 1945 yaitu pasal 28E ayat (2) dan (3), pasal 2F dan pasal
2I.
Selain
dari peraturan konstitusional, bias juga ditemui di Hak Asasi Manusia (HAM)
yang di retifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 oleh Indonesia. Ini membuktikan
kita sudah mempunyai acuan moral tertentu bersama negara-negara yang sudah
mengesahkan HAM. Jadi untuk menghapus hoax saya kira pekerjaan yang berat,
apalagi menyalahkan atau menghukum pembuat hoax itu lebih sulit lagi. Karena,
mereka (pembuat hoax) juga punya hak untuk membuat informasi tersebut.
Membuat
informasi memanglah salah satu hak untuk kita, tetapi patut disayangkan kenapa
mereka membuat kabar hoax. Di sini banyak asumsi dalam benak saya sendiri,
pasti ada kecenderungan mengapa mereka lebih memilih berita hoax, menyebarluaskan
dengan begitu saja. Bila
dicermati lebih lanjut, saya rasa memang ada hal hal yang sedang di incar bagi
pembuat hoax, seperti komersial, kekuasaan, dan ideologi-ideologi tertentu
pastinya.
Mungkin
ada beberapa cara untuk mengatasi ini saya kira, namun bukan menghapus,
memusnahkan, menyalahkan dan menghukum pembuat hoax. Melainkan dengan belajar,
agar otak kita (pekonsumsi kabar) tidak tumpul begitu saja terhadap kabar yang
berseliwungan disekitar kita. Selain itu, kita bisa menelaah secara kritis
dalam memilih dan memilah sesuatu, agar tidak terjadi kesalahpahaman sosial.
Dengan
begitu kita (masyarakat) dapat mengurangi hoax yang tak bernilai apapun.
Setidaknya kita dapat mengantisipasi untuk tidak ikut-ikutan menelan
mentah-mentah apa yang telah kita konsumsi dalam kurun waktu yang tak
terhingga. Dan cara selanjutnya check
dan rechek terhadap kabar atau permasalahan yang terjadi.
Saya
kira beberapa cara tersebut dapat digunakan oleh kita mengingat era digital
saat ini sudah menjadi hal viral. Begitu juga dengan pengguna gadget dan
pemakai media sosial yang sudah merambah dari berbagai Kalangan umur seperti
anak-anak, remaja, dewasa dan tua.
“Hoax”
Oleh: Farida Haryuni (Mahasiswa Bimbingan Konseling Islam Semester 4)
Hoax…
Negriku bernyanyi keras diatas
coretan tinta
Mengiang nada yang berbeda dan tak tertata
Antara yang benar dan terlihat benar kinipun sama
Antara jelas dan samar memburam mata
Antara sadar dan gila menjadi biasa
saja
Semua terasa sama dengan kenyataan
yang berbeda
Hoax….
Warnamu menjadi simbol tawa dan
derita
Hadirmu menjadi penyedap akan wacana
Karenamu,
Berbagai virus tumbuh dalam kasus
Harummu menebar wewangian anyir
Memikat dan menyesatkan manusia yang
tak tau apa-apa
Hoax…
Sadarkanlah para penerus bangsa
Biarkan mereka belajar menerimamu
tanpa Cuma-Cuma
Biarkan mereka bisa meraba antara yang
samar dan yang benar
Biarkan mereka mulai berfikir kritis
bukan rasis
Biarkan mereka terbiasa dengan
kebijaksanaan bukan keegoisan
Biarkan mereka membuka mata tuk
melihat jendela dunia
Dan biarkan mereka meninggalkanmu
walau tak bisa membuangmu.
0 komentar:
Posting Komentar