Serba-serbi kehidupan memicu terjadinya komunikasi, tukar
pendapat, saling bersinggungan satu ke hal lainnya. Tumbuhan dan hewan
mempunyai daya tarik warna-warni bagi kehidupan, tidak lain halnya manusia. Daya
tarik itu, akan punah jika diantara satu dari pada lainnya memiliki hasrat
memiliki dan mau menang sendiri. Celakanya hanya manusia yang bisa berpikir
tentang konsep pengendalian atas makhluk hidup selain dirinya (tumbuhan dan
hewan). Terlihat jelas dalam film Patrick Rouxel dengan judul Green, bagaimana
ia menggambarkan antara manusia, tumbuhan dan hewan saling berinteraksi dan
bergesekan dalam ruang dan waktu yang sama.
Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah
(DEMA FUAD) IAIN Tulungagung menggelar diskusi dan bedah film dengan judul
Green dari Patrick Rouxel di Aula Utama IAIN Tulungagung. Acara tersebut
bertemakan “Melihat Ulang Problematika Lingkungan” yang di buka langsung oleh
Imam Safi’i selaku ketua DEMA FUAD sekitar pukul 20.00 WIB.
Acara bedah film dan diskusi adalah salah satu rangkaian dari
program kerja DEMA FUAD. Latar belakang menyajikan film dari Patrick Rouxel
untuk menambah wawasan dalam melihat lingkungan. Selain itu, lingkungan harus
dijaga dan dilestarikan oleh manusia begitu juga dengan hewan yang ada
didalamnya.
Di awal-awal film Patrick Rouxel menyajikan tentang bagaimana
keadaan Orang utan, yang sedang di bawa oleh sekelompok manusia. Ia korban dari
eksploitasi Sumber Daya Alam. Film ini pada intinya adalah perjalanan emosional
orang utan di akhir hayatnya.
Rumah Orang utan telah ditebangi, penebangan itu alih-alih
untuk pembukaan lahan baru yaitu perkebunan kelapa sawit di Kalimantan.
Bahan-bahannya telah di produksi sebagai alat peralatan rumah tangga seperti
meja, kursi, pintu dan lain-lain. Selain itu kayu-kayu juga dijadikan produksi
kertas-kertas yang kadang dianggap sepele oleh manusia. Seperti koran, sehabis
dibaca tidak karuan ke mana. Yang jelas tempat terakhirnya koran ada ditempat
pembuangan.
Selain ditebangi, hutan-hutan juga dibakar dan menimbulkan
asap sehingga terdesak pada penciuman hewan di hutan itu. Berakhirlah
keaneragaman hayati yang semula hidup dengan harmonis. Eksploitasi tetap
menjadi acuan utama untuk menjadikan objek seperti orang utan tersiksa dan
merana. Kejadian ini tak jauh dari perbuatan manusia.
Refleksi
Semangat orde baru (orba) masih mengakar kuat sampai
sekarang. Sedangkan semangat itu bersenyawa dengan kapitalisme. Kita melihat
kayu-kayu itu ditebangi untuk diekspor ke luar negeri dan dimanfaatkan untuk
kepentingan masyarakat lain. Begitu juga hasil dari kelapa sawit seperti minyak
dan kosmetik.
Paham kapitalis begitu kuat diperlihatkan di film ini, para
kapitalis diwakili oleh perusahaan, penguasa, ilmuan dan koperasi. Mereka
memandang alam dan hewan berada di bawah mereka dan sebagai objek yang perlu
dimanfaatkan dalam bentuk eksploitasi atau menguasainya.
Sudut pandang film ini diambil dari hewan. Kodrat hewan tidak
mempunyai akal seperti manusia, sehingga mereka akan tunduk pada manusia yang
memiliki daya rasional untuk menguasainya. Rasionalitas begitu menegasikan
keadaan yang tidak pernah berpikir. Penegasian ini membuat para ekploiatasi
tidak pernah menimbang ulang dampaknya. Logika ini persis yang di sampaikan
Louis Althusser, di mana rasionalitas adalah alat untuk menyebarkan ideologi.
pada konteks film ini, rasionalitas yang dimaksud yaitu dari ranah pendidikan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ilmu Pengetahuan Alam seharusnya menjaga alam, tetapi tampaknya tragis menggunakan keilmuan
hanya untuk menguasai lainnya seperti mengekploitasinya. Jadi, hewan tidak bisa
berpikir jernih sehingga rumahnya dapat dikuasai begitu saja dengan
mengeksploitasinya.
Film dari Patrick Rouxel berjudul Green ini begitu jelas
menampakan kejahatan kapitalis yang diolah dari berbagai cara. Untuk itu
setelah adanya bedah film sekaligus diskusi, diharapkan mahasiswa FUAD dapat
menindaklanjuti dalam bentuk yang real, aksi-aksi kecil. Agar tidak menghilang
begitu saja. Aksi-aksi kecil ini dapat berupa memahami alam dan hewan. Selain
itu dapat terjun langsung untuk melakukan penghijauan, gerakan-gerakan nyata
kepada alam dan hewan. Hewan dan alam harus dipahami sebagai sesuatu yang sama
dengan manusia. Dalam artian intersubjektif bukan objek lagi.
Film ini juga menyadarkan kita akan pentingnya alam dan
hewan. Interaksi manusia kepadanya dan memperlakukan keduanya seperti halnya
manusia yang hidup membutuhkan makan, minum dan rumah. Sebagai sistem rantai
kehidupan di dunia.
Acara bedah film dan diskusi selesai pukul 23:00, dengan
akhir menyanyikan lagu darah juang bersama-sama oleh mahsiswa FUAD yang hadir
pada malam itu. Selain hal tersebut, seperti biasanya mahasiswa FUAD menderukan
jargon sebagai lambang semangat dan bukti kekompakan bersama. Yaitu salam
jaringan mahasiswa FUAD… JANGFUD!!! [M. Salis Arisna M., Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi]
0 komentar:
Posting Komentar